Pramoedya Ananta Toer, Tetap Berkarya di Tengah Pengasingan

15 Februari 2021, 14:21 WIB
Pramoedya Ananta Toer /, Sumber: Dok. Pikiran Rakyat

KABAR BESUKI-Pramoedya Ananta Toer, sosok yang pastinya tidak asing bagi pecinta sastra.

Pram, begitu dia disapa merupakan sosok yang penting di dunia sejarah sastra Indonesia. Tulisan-tulisannya dinilai menjadi salah satu pemancar perjuangan.

Baginya, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Demikianlah kalimat yang terkenal bermunculan di berbagai tempat.

Baca Juga: Kabar Duka! Anak SBY Sampaikan Belasungkawa, AHY: Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rajiun

Kemampuan menulisnya diakui bermula dari sikap dan ajaran ayahnya.

Momen menulis yang ditandai oleh Pram bermula ketika dia harus menyelesaikan 10 tahun masa studinya di sekolah Budi Utomo.

Ketika itu ayahnya malu kepada Pram. Dia merasa tidak bisa mengungkapkan perasaannya kepada siapapun, dan dia memilih buku sebagai curahan pikirannya.

Karir kepenulisannya berlanjut sebagai seorang jurnalis di salah satu surat kabar Jepang.

Sebagai mantan jurnalis, dia terbiasa mengungkap fakta. Pram juga merupakan salah satu pendukung utama ketika Indonesia baru saja merdeka.

Baginya, tidak ada presiden Indonesia yang mengerti negaranya lebih dari Soekarno.

Dua puluh tahun setelah Indonesia merdeka, yakni tahun 1965. Soekarno dilengserkan sebagai presiden Indonesia.

“Soekarno lengser karena politik dari Eisenhower. Dia ingin Soekarno disingkirkan saja,” ucap Pram ketika diwawancarai oleh Arngrim Ytterhus.

Baca Juga: Lebanon Memulai Vaksinasi Terhadap COVID-19, Siapakah yang Pertama?

Setelahnya para pendukung Soekarno harus menerima kenyataan ditangkap dan diasingkan. Termasuk Pram.

“Banyak intel berdatangan ke rumah saya. Dia menyuruh saya untuk berhenti menulis, karena zaman sudah berubah,” kata Pram.

Tidak ada gentar di hati Pram. Prinsipnya tetap teguh, meskipun kerabat memperingatinya untuk mengungsi.

Tepatnya tahun 1969 dia diasingkan ke Pulau Buru sebagai tahanan politik. Penangkapan diwarnai dengan naskahnya yang dibakar dan kepalanya dipukul dengan senjata.

Naskahnya yang dibakar adalah perbuatan tidak termaafkan baginya.

Empat belas tahun lamanya dia diasingkan, tidak membuat semangat menulisnya menjadi hilang.

Seperti halnya Soekarno dan Tan Malaka yang dipenjara, dan masih berkarya. Pram juga demikian.

Justru karya di dalam penjara itulah yang kini menjadi sangat terkenal, sebut saja salah satu judulnya, yakni Bumi Manusia.

Bumi Manusia adalah satu dari empat karya Pram di Pulau Buru. Kemudian tulisannya dikenal dengan ‘Buru Quartet’ atau ‘Tetralogi Pulau Buru’.

Baca Juga: Gempa 7,1 SR Fukushima, dan Gempa Besar di Jepang dalam 10 Tahun Terakhir

Empat karya itu berjudul, Bumi Manusia (1980-1981), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988).

Sayangnya peredaran buku-buku itu harus terhenti pada tahun pada 1981. Kejaksaa Agung menghentikan peredaran anggapan isi buku menyiratkan ajaran Marxisme-Leninisme dan Komunisme.

Berkat perjuangan dan karya-karyanya Pram memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995.

Tidak hanya itu. Pramoedya juga mendapat penghargaan hadiah Budaya Asia Fukuoka XI tahun 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia.

Sempat juga dirinya dinominasikan untuk penerima Nobel bidang Sastra.

Baca Juga: Mengurangi Penggunaan Kacamata Bisa Bantu Sembuhkan Minus dan Plus Pada Mata, Mitos atau Fakta?

Pada 30 April 2006, Pram harus meregang nyawa karena kesehatannya yang naik turun sejak tanggal 27 April.***

Editor: Yayang Hardita

Sumber: YouTube Sobat Dosen

Tags

Terkini

Terpopuler