Chusnul Mariyah Sebut Demokrasi di Indonesia Diatur Korporasi, Ternyata Begini Penyebabnya

- 26 Oktober 2021, 07:58 WIB
Chusnul Mariyah Sebut Demokrasi di Indonesia Diatur Korporasi, Ternyata Begini Penyebabnya
Chusnul Mariyah Sebut Demokrasi di Indonesia Diatur Korporasi, Ternyata Begini Penyebabnya /Chusnul Mariyah/Instagram.com/@chusnul_mariyah

Bahkan, dia juga menyinggung peranan The Fed yang dikendalikan oleh klan Rotschild dalam menentukan tokoh yang layak untuk memimpin Amerika Serikat.

"Kalau di Amerika, kita bisa lihat korporasi itu yang memegang sebetulnya di dalam pemilu. Kalau bicara The Fed, itu kan Rotschild yang kemudian menjadi bagian tak terkalahkan, nah ini juga kelompok Zionis Yahudi," katanya.

Baca Juga: Rocky Gerung Sebut Ada Kepentingan Oligarki di Balik Wacana Presiden Tiga Periode: Kesepakatan Diam-diam

Chusnul Mariyah mengatakan, pasal limit contribution sebagaimana yang diterapkan dalam pemilu di Amerika Serikat tak cocok untuk diadopsi oleh Indonesia.

Dia menyebut, regulasi limit contribution dalam pemilu di Indonesia justru memperbesar peluang korporasi atau siapapun yang bermodal kuat untuk mengendalikan pemilu, bahkan mengatur siapa yang layak untuk menang.

"Model inilah yang kita impor dari Amerika, makanya saya sejak awal mengatakan jangan menggunakan pasal limit contribution, karena itu model liberal. Limit contribution akhirnya yang kontribusi siapa? Korporasi, yang pegang uang," ujar dia.

Baca Juga: Rocky Gerung Sebut Krisis Kepemimpinan di Indonesia Disebabkan Aturan yang Dibuat Oligarki, Ini Penjelasannya

Chusnul Mariyah menyimpulkan, ketentuan limit contribution dapat menyandera partai politik di Indonesia sehingga mereka memiliki ketergantungan yang luar biasa terhadap korporasi.

Dia juga menjelaskan, kewajiban partai politik memiliki banyak kantor DPD, DPC, hingga ke tingkat yang lebih rendah sangat membebani operasional partai politik sehingga di situlah celah korporasi atau bandar untuk masuk dalam aspek pendanaan.

"Partai tersandera dengan korporasi, kenapa? Karena aturan hukumnya juga, partai politik boleh ikut pemilu kalau punya 100 persen kantor di provinsi, 75 persen kantor di kabupaten/kota, 50 persen kantor di kecamatan, terus siapa yang membiayai kantor-kantor partai politik itu? Akhirnya bandar masuk, korporasi masuk di dalam konteks itu," tuturnya.***

Halaman:

Editor: Rizqi Arie Harnoko

Sumber: YouTube Refly Harun


Tags

Terkait

Terkini

x