6 Faktor Pemicu Maraknya Bullying di Korea Selatan, Salah Satunya Minimnya Sumber Daya Alam

26 Juli 2022, 08:38 WIB
6 Faktor Pemicu Maraknya Bullying di Korea Selatan, Salah Satunya Minimnya Sumber Daya Alam. /Ilustrasi/Pixabay/geralt

KABAR BESUKI - Kasus bullying di Korea Selatan semakin mengkhawatirkan dalam beberapa waktu terakhir.

Maraknya bullying di Korea Selatan khususnya di lingkungan sekolah menyebabkan korban mengalami trauma yang luar biasa.

Ada enam faktor pemicu maraknya bullying di Korea Selatan berdasarkan pendapat dari YouTuber Jang Hansol yang akan dibahas selengkapnya dalam artikel ini.

Baca Juga: 11 Drama Korea yang Diperankan oleh Nam Joo Hyuk, Aktor yang Dituduh Lakukan Bullying Selama Sekolah

Berikut enam faktor pemicu maraknya bullying di Korea Selatan sebagaimana dilansir Kabar Besuki dari kanal YouTube Korea Reomit dalam sebuah video yang diunggah pada Rabu, 30 Mei 2022, antara lain:

1. Minimnya Sumber Daya Alam

Korea Selatan merupakan salah satu dari sekian banyak negara yang minim akan sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan.

Korea Selatan disebut-sebut tak memiliki cadangan minyak bumi, terlebih sekira 70 persen daratan di Negeri Ginseng merupakan kawasan pegunungan.

Bahkan untuk pembangunan jalan raya di Korea Selatan harus menggunakan teknik rekayasa kontur tanah.

"Minyak bumi tidak ada, udah gitu daratannya penuh dengan gunung hingga 70 persen. Jadi kalau mau bikin jalan pun harus bikin tanah, harus naik turun," kata Jang Hansol dalam sebuah video yang ditayangkan oleh kanal YouTube Korea Reomit pada Rabu, 30 Mei 2022 lalu.

Selain itu, kontur daratan Korea Selatan yang cenderung memanjang dinilai kurang bagus untuk kegiatan pertanian.

Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan iklim antar wilayah di Korea Selatan yang cukup ekstrim, sehingga kawasan pertanian di sana sangat terbilang langka jika dibandingkan dengan Indonesia.

Akibat hal tersebut, Korea Selatan harus mengerahkan kekuatan sumber daya manusia sebagai satu-satunya ujung tombak majunya perekonomian di negara tersebut.

2. Tingginya Tekanan Hidup

Seiring dengan pesatnya pembangunan ekonomi di Korea Selatan terlebih dengan menyebarnya Korean Wave di seluruh dunia, masyarakat di negara tersebut cenderung semakin individualis.

Majunya ekonomi di Korea Selatan ternyata juga dibarengi dengan biaya hidup yang semakin meningkat, sehingga hal tersebut memacu setiap individu untuk semakin kompetitif bahkan nyaris tak terkendali.

"Dulunya ini saling membantu biar bisa hidup bersama. Tapi karena sekarang hidup lebih susah, orang-orang semakin sibuk dengan dirinya sendiri, kompetisi antara satu dengan lainnya semakin parah," ujar Jang Hansol.

Menurut Jang Hansol, naluri untuk bertahan hidup memaksa setiap individu seolah-olah harus 'menghalalkan segala cara' agar tetap memperoleh penghasilan setiap bulannya.

Baca Juga: Lee Naeun Ex-APRIL Resmi Gabung Namoo Actors, Netizen Pertanyakan Kelanjutan Kasus Bullying

3. Korea Selatan Hanya Memiliki Satu Ras

Berbeda dengan Indonesia yang merupakan negara multi-ras, penduduk asli Korea Selatan hanya berasal dari satu ras.

Jang Hansol mengungkapkan, ras penduduk asli Korea Selatan yang terbilang homogen disinyalir memacu kompetisi antar individu yang sangat tinggi.

Akibatnya, budaya sering membanding-bandingkan antar individu seolah menjadi hal yang lumrah meski berpotensi besar mengancam kesehatan mental.

Berbeda halnya jika setiap individu memiliki kompetensi yang lebih variatif, sehingga sangat kecil kemungkinan untuk dibanding-bandingkan.

"Bayangkan kalau semua orang harus bercocok tanam apel? Susah kan? Persaingan bakal lebih parah lagi," katanya.

Dengan hal tersebut, tingkat persaingan antar individu di Korea Selatan menjadi sangat ketat.

Sehingga, hanya ada dua pilihan untuk bertahan hidup yakni berusaha menjadi lebih baik atau 'membunuh' kompetitornya.

4. Korea Selatan Cenderung Sensitif dengan Isu Keadilan

Berkaitan dengan poin-poin sebelumnya, isu keadilan di Korea Selatan cenderung merupakan hal yang sangat sensitif bagi masyarakatnya.

Karena hal tersebut, Jang Hansol membayangkan akan ada kenaikan tingkat kriminalitas jika penegakan hukum di Korea Selatan cenderung lemah.

"Kalau kompetisinya dibuka dan tidak ada peraturan, mungkin banyak orang bisa sukses dengan cara nipu, bahkan melakukan kriminal, membunuh, merampas," ujar dia.

Akan tetapi, Korea Selatan cenderung menjunjung tinggi keadilan dalam hampir segala aspek.

"Di Korea, keadilan itu penting banget. Makanya kalau lihat di K-Pop atau K-Drama, semua masalahnya berhubungan dengan keadilan," ucapnya.

Hal tersebut menyebabkan trust issue menjadi salah satu pemicu kecemburuan sosial di kalangan antar individu, ketika seseorang memiliki tingkat kesuksesan di atas rata-rata.

Baca Juga: Dampak Kesehatan Anak yang Alami ‘Bullying’ atau Perundungan, Salah Satunya Depresi

5. Indikasi Kesuksesan yang Cenderung 'Sempit'

Indikasi kesuksesan di Korea Selatan cenderung dipandang dengan kacamata 'sempit' apabila melihat pemerataan pembangunan antar wilayah di negara tersebut.

Seoul yang merupakan ibu kota Korea Selatan memiliki disparitas keunggulan yang sangat jauh melampaui kota-kota lainnya, bahkan kota besar seperti Incheon sekalipun.

Jang Hansol menilai, Seoul seolah-olah menjadi indikator kesuksesan sejati di kalangan masyarakat Korea Selatan, sehingga banyak generasi muda dari berbagai wilayah berlomba-lomba untuk memperoleh kesempatan berkarir di Seoul.

Sehingga, masyarakat Korea Selatan yang tinggal di luar Seoul seolah-olah masuk dalam kategori masyarakat 'pinggiran', meski memiliki penghasilan yang tak kalah mentereng.

Bahkan, tidak sedikit anak muda yang direndahkan ketika memilih untuk menempuh pendidikan tinggi di luar Seoul, meski perguruan tinggi di luar Seoul juga memiliki kualitas yang tak kalah bagusnya.

Akibatnya, kompetisi antar individu di Korea Selatan seolah tak terkendali karena Seoul dianggap sebagai satu-satunya kota paling bergengsi di Negeri Ginseng.

Terlebih, hampir semua pusat kegiatan ekonomi di Korea Selatan cenderung berpusat di Seoul.

6. Tidak Adanya Kewajiban Beragama di Korea Selatan

Berbeda halnya dengan Indonesia, penduduk Korea Selatan tidak diwajibkan untuk menganut agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing.

Dengan tidak adanya kewajiban beragama di Korea Selatan, banyak masyarakat di sana menganggap kesuksesan yang dia peroleh semata-mata karena kerja kerasnya tanpa adanya campur tangan Tuhan.

"Ketika seseorang menang di sebuah kompetisi (tentu tidak semua), itu berkat kerja kerasnya dia, nggak berpikir kalau dia mendapatkan berkat lebih lagi dari Tuhan," tutur Jang Hansol.

Sebaliknya, orang yang tidak sukses dalam berkarir semata-mata dinilai karena orang tersebut malas atau tidak produktif.

DISCLAIMER:

Artikel ini hanya merupakan penjelasan dari Jang Hansol mengenai enam faktor pemicu maraknya bullying di Korea Selatan, bukan untuk diyakini sebagai kebenaran mutlak.***

Editor: Rizqi Arie Harnoko

Sumber: YouTube Korea Reomit

Tags

Terkini

Terpopuler