3 Mitos tentang Layanan OTT yang Beredar dan Tak Sepenuhnya Bisa Dipercaya

13 November 2021, 19:09 WIB
Ilustrasi layanan OTT yang melahirkan sejumlah mitos. /Pixabay

KABAR BESUKI - Banyaknya layanan OTT tak dipungkiri melahirkan sejumlah mitos yang beredar di kalangan generasi milenial.

Ada beberapa mitos tentang layanan OTT yang beredar di kalangan generasi milenial dan tak sepenuhnya bisa dipercaya.

Salah satu mitos tentang layanan OTT yang beredar adalah mitos yang menyebut layanan OTT dapat membunuh industri televisi.

Baca Juga: Update Hak Siar Kompetisi Sepak Bola Musim 2021-2022 di Televisi dan OTT Indonesia 16 Agustus 2021

Berikut tiga mitos tentang layanan OTT yang kerap beredar dan tak sepenuhnya bisa dipercaya sebagaimana dirangkum Kabar Besuki dari berbagai sumber:

Mitos Pertama: Layanan OTT Lebih Diminati Karena Buruknya Kualitas Konten Televisi Terestrial

Banyak mitos yang beredar di kalangan anak muda dan kaum urban yang menyebut bahwa layanan OTT lebih diminati karena buruknya kualitas konten di televisi terestrial.

Tak dapat dipungkiri bahwa layanan OTT menawarkan berbagai macam konten berkualitas serta dapat ditonton dimanapun dan kapanpun.

Akan tetapi, hal tersebut bukanlah penyebab masyarakat beralih dari televisi terestrial ke layanan OTT.

Sebaliknya, buruknya kualitas konten di televisi terestrial justru disebabkan oleh berkurangnya jumlah pemirsa 'terdidik' yang menonton acara televisi terestrial dengan menggunakan antena UHF.

Konsekuensinya, stasiun televisi terestrial harus lebih memperbanyak konten yang menyasar kelompok pemirsa dominan, yakni ibu rumah tangga yang disebut-sebut kurang memiliki literasi dalam memilih konten yang layak untuk ditonton jika ingin konsisten bertahan secara revenue, rating, maupun audience share.

Baca Juga: Peta Hak Siar Kompetisi Sepak Bola Musim 2021-2022 di Televisi dan OTT Indonesia

Mitos Kedua: Layanan OTT Akan 'Membunuh' Industri Televisi

Mitos lainnya yang sering beredar di kalangan anak muda adalah keberadaan layanan OTT yang disebut-sebut telah 'membunuh' industri televisi.

Faktanya di sejumlah negara seperti Amerika Serikat dan Indonesia, industri televisi tetap berkembang meski layanan OTT merajalela.

Bahkan untuk kasus di Indonesia, penetrasi televisi masih sangat dominan yakni pada kisaran angka 90 persen jika mengacu pada data Nielsen Media Research.

Sebaliknya, layanan OTT khususnya di Indonesia justru merupakan pelengkap bagi pemain industri televisi.

Beberapa pemain utama industri televisi nasional justru diketahui ikut menjadi pemain utama industri layanan OTT di tanah air untuk memperbesar ruang lingkup bisnisnya.

Di sisi lain, tayangan pertandingan olahraga (khususnya sepak bola) masih menjadi 'killer content' bagi industri televisi karena faktor eksklusivitas hak siar dan kenyamanan menonton sehingga 'memaksa' penggemarnya untuk menonton di layar televisi.

Baca Juga: Refleksi Hari Penyiaran Nasional 2021, Ini 3 Alasan Kuat Mengapa Sinetron Mendominasi Prime Time TV Nasional

Mitos Ketiga: Konten pada Layanan OTT Lebih Berkualitas Dibandingkan Televisi

Pernahkah Anda mendengar kalimat 'YouTube lebih dari TV'? Ini juga merupakan mitos yang tak sepenuhnya benar.

Beberapa layanan OTT seperti YouTube, Netflix, dan lain-lain memang menawarkan konten yang sangat beragam.

Akan tetapi, tak semua konten di layanan OTT terjamin secara kualitas, dan tidak semua konten di televisi (khususnya terestrial) itu buruk.

Bahkan, kebanyakan konten di layanan OTT yang berkualitas tinggi cenderung hanya dapat diakses oleh pengguna yang berlangganan paket premium sesuai dengan penawaran dari masing-masing penyedia layanan.

Di sisi lain, seluruh stasiun televisi sejatinya sudah berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga kualitas kontennya, akan tetapi mereka juga harus realistis dengan perkembangan selera pemirsa yang dapat berubah-ubah.

Sehingga, jalan tengah merupakan pilihan ideal agar beberapa program bermutu tetap terjaga, namun harus memiliki setidaknya satu program yang di-milking sebagai penyangga revenue, rating, dan share meski kualitasnya diragukan.***

Editor: Rizqi Arie Harnoko

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler