AIIB mengatakan operasinya mematuhi pedoman lingkungan dan sosial, dan telah menanggapi "dengan cepat" keluhan terkait proyek dan menugaskan konsultan independen untuk terlibat dengan pemerintah Indonesia, bisnis dan penduduk setempat.
"Laporan akhir tidak menemukan bukti dugaan pemaksaan, penggunaan kekerasan langsung, dan intimidasi terkait dengan pembebasan tanah dan pemukiman kembali," kata AIIB dalam sebuah pernyataan Kamis 1 April 2021.
Baca Juga: 6 Panggilan Sayang yang Bisa Membuat Hubungan Jadi Asik dan Nggak Bosan, Generasi 90an Pasti Tahu
AIIB dan Badan Usaha Pengembangan Pariwisata Indonesia (ITDC) milik negara telah menyepakati rencana pembangunan tersebut.
“Untuk meningkatkan keterlibatan pemangku kepentingan, dengan masyarakat yang terkena dampak proyek, kepala desa dan pejabat pemerintah daerah, dan lebih luas lagi dengan masyarakat sipil dan populasi yang lebih luas Lombok,” tambahnya.
ITDC dan Asosiasi Grand Prix Mandalika, yang keduanya terlibat dalam pengembangan Mandalika, tidak menanggapi permintaan komentar.
Secara global, ada kesadaran yang tumbuh (feedback) terhadap dampak negatif dari pariwisata, termasuk kerusakan lingkungan dan pembinasaan lingkungan, sebagai penduduk setempat seharusnya dibayar dengan nilai yang mahal.
Mandalika disebut-sebut oleh pihak berwenang sebagai hal penting untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan mata pencaharian di provinsi yang miskin itu.
Baca Juga: Sebanyak 500 Data Pengguna Facebook Dikabarkan Diretas oleh Orang Tidak Dikenal
Tetapi aktivis hak asasi manusia mengatakan proyek tersebut, seperti banyak pembangunan pariwisata lainnya, telah merugikan masyarakat adat.