Rocky Gerung mengatakan, selama ini pemerintah dianggap kerap memberangus upaya masyarakat untuk menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang tak memihak rakyat.
Bahkan, pembuat mural atau orang yang membentangkan poster dengan maksud untuk mengkritik Presiden Jokowi atas kebijakannya yang dianggap tak memihak rakyat justru harus berurusan dengan aparat.
"Kita sekarang, orang minta perhatian lewat poster tapi dilarang, orang minta perhatian lewat mural tapi dilarang. Lalu terbitlah yang namanya Pepe 4.0 yaitu dengan tutup telinga, karena menganggap bahwa orang yang gak mau denger sebaiknya gak usah kita denger juga," katanya.
Rocky Gerung memprediksi, fenomena counter culture dalam bentuk 'Tutup Telinga Challenge' di Indonesia nantinya akan menjadi bahan penelitian dari sejumlah peneliti internasional karena fenomena tersebut merupakan cara berekspresi yang hanya dapat dibaca oleh mata hati.
"Pasti akan ada research atau tesis Ph.D tentang counter culture. Jadi fenomena kontra budaya dan biasa sebetulnya di dalam keadaan orang terhalang untuk mengekspresikan sesuatu, maka ekspresinya dicarikan jalan yang sangat sublim, yang hanya bisa dibaca oleh mata hati," ujar dia.
Rocky Gerung menilai, fenomena 'Tutup Telinga Challenge' merupakan sebuah gejala baru dalam politik Indonesia, karena setiap ada upaya menutup pintu kritik tetap akan ada celah yang dapat dilakukan oleh masyarakat.
Rocky Gerung menganalogikan hal tersebut dengan kinerja jantung ketika salah satu organnya mengalami penyumbatan.
"Ini gejala baru dalam politik kita, kalau kanal-kanal demokrasi ditutup maka ada kapiler-kapiler kecil yang terbuka. Itu sama kalau jantung kita aorta-nya tersumbat, biasanya pembuluh darah kapiler itu akan cari jalan untuk tiba lagi di jantung," tuturnya.***