Herry Wirawan Divonis Hukuman Mati, ICJR: Hukuman Mati dalam Kekerasan Seksual Bukan Solusi Bagi Korban

- 5 April 2022, 14:27 WIB
Ilustrasi penjara. Institute For Criminal Justice Reform memberikan tanggapan terkait vonis hukuman mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan pelaku predator seksual.
Ilustrasi penjara. Institute For Criminal Justice Reform memberikan tanggapan terkait vonis hukuman mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan pelaku predator seksual. /Pixabay

KABAR BESUKI – Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) memberikan tanggapan terkait vonis hukuman mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan pelaku predator seksual, pemerkosa 13 santriwati.

Seperti yang diketahui sebelumnya bahwa PT Bandung mengabulkan banding yang diajukan Jaksa Penuntut Umum dan menjatuhkan pidana mati sesuai dengan banding yang diajukan tersebut.

Dikutip Kabar Besuki dari laman resmi ICJR, Institute For Criminal Justice Reform mengapresiasi putusan PT Bandung atas terkait dengan restitusi bagi korban, namun ICJR menyayangkan dijatuhkannya hukuman mati kepada pelaku. 

Sebelumnya PN Bandung mengeluarkan putusan yang membebaskan Herry Wirawan dari hukuman pembayaran ganti rugi terhadap korban dan memberikan kewajiban tersebut kepada pemerintah.

Baca Juga: Ramalan Zodiak Hari Ini Selasa 5 April 2022: Gemini Gunakan Waktumu untuk Dirimu Sendiri

Bersamaan dengan dijatuhkannya vonis hukuman mati, PT Bandung juga mengubah tanggung jawab kewajiban pembayaran restitusi terhadap korban kepada pelaku.

Ketua majelis hakim, Herri Swantoro mengatakan akan melakukan perampasan semua harta atau aset milik Herry Wirawan.

Perampasan semua aset milik Herry Wirawan itu dilakukan untuk memenuhi biaya pendidikan dan kelangsungan hidup para anak korban dan bayi mereka hingga dewasa atau menikah.

Aset-aset yang akan dirampas berupa tanah, bangunan dan hak-hak terdakwa dalam yayasan yatim piatu Manarul Huda.

Selain itu majelis hakim juga mewajibkan Herry Wirawan untuk membayar restitusi sebesar Rp.300 juta lebih.

ICJR mengapresiasi putusan tersebut, akan tetapi menyayangkan putusan hukuman mati kepada pelaku. ICJR menganggap bahwa putusan tersebut akan menjadi preseden buruk bagi proses pencarian keadilan korban kekerasan seksual, karena fokus negara justru pembalasan terhadap pelaku, alih-alih korban yang seharusnya dibantu pemulihannya.

Baca Juga: Harga Emas 24 Karat Hari Ini Selasa 5 April 2022 di Pegadaian: Antam Tidak Ada dan UBS Naik

UN High Commissioner for Human Rights, Michelle Bachelet menyampaikan bahwa meskipun pelaku perkosaan dan kekerasan seksual lain harus dimintai tanggung jawab, namun hukuman mati dan penyiksaan bukanlah solusinya.

Tidak ada satupun bukti ilmiah yang menyebutkan bahwa pidana mati dapat menyebabkan efek jera, termasuk di dalam kasus perkosaan.

Masalah dari kasus-kasus perkosaan yang terjadi di seluruh belahan dunia, menurut Bachelet, disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap keadilan korban, dan menerapkan pidana mati kepada pelaku, tidak akan menyelesaikan masalah ini.

ICJR juga menuliskan dalam artikelnya bahwa pidana mati, diterapkan justru ketika negara gagal hadir untuk korban.

Hal tersebut merupakan bentuk ‘gimmick’ yang diberikan sebagai kompensasi karena negara gagal hadir dan melindungi korban, sebagaimana seharusnya dilakukan.

Sebagai konsekuensi dari hal ini, negara kemudian mencoba ‘membuktikan diri’ untuk terlihat berpihak kepada korban, dengan menjatuhkan pidana-pidana yang ‘draconian’ seperti pidana mati.

Hal ini, tentu saja bukan yang diharapkan terjadi di Indonesia. Negara, harusnya dapat hadir setiap waktu, bukan hanya pada waktu-waktu tertentu hanya untuk ‘mengambil hati’ korban dan warga negaranya.

Pidana mati terhadap pelaku perkosaan telah ditentang oleh banyak kelompok perempuan di dunia dan disebut sebagai solusi yang sekedar populis terhadap masalah kekerasan terhadap perempaun.

Baca Juga: Jokowi Akan Salurkan BLT Minyak Goreng Kepada Masyarakat, Ini Nominal Bantuan yang Diterima

Menurut Bansari Kamdar dan Jahnavi Sen penerapan pidana mati dalam kasus perkosaan dapat meningkatkan angka pembunuhan terhadap korban, karena untuk  untuk membungkam korban, pembunuhan justru akan menjadi opsi logis yang akan diambil pelaku.

Lebih lanjut, di dalam putusan ini, Hakim menyatakan bahwa restitusi dijatuhkan sebagai upaya memberikan efek jera kepada pelaku. maka Hakim akan menghadapi pembatasan di dalam Pasal 67 KUHP, yang melarang penjatuhan pidana tambahan lain kepada Terdakwa yang dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup.

Hal inilah yang di dalam putusan lalu menjadi masalah bagi Hakim di tingkat pertama, bahwa ketika hukuman yang maksimal sudah diberikan kepada pelaku, maka hukuman lain tidak dapat dijatuhkan.

Maka dari itu, untuk mengatasi kekacauan ini, seharusnya hukuman mati tidak boleh dijatuhkan di dalam kasus apapun, khususnya kekerasan seksual dimana korban membutuhkan restitusi untuk mendukung proses pemulihannya.

ICJR menuliskan bahwa mereka memahami kasus ini menyulut kemarahan yang besar bagi publik. Namun demikian, kemarahan publik bukanlah hal yang seharusnya menjadi fokus utama di dalam proses pemberian keadilan bagi korban.

Fokus utama kita seharusnya diberikan kepada korban, dan bukan kepada pelaku, dan hal ini yang seharusnya menjadi perhatian aparat penegak hukum dan juga Hakim di dalam kasus-kasus kekerasan seksual.

ICJR juga menuliskan dalam artikelnya, Pengadilan yang saat ini sudah memiliki pedoman mengadili perkara perempuan, juga harus mulai berpikir progresif dengan memikirkan kebutuhan korban dan tidak hanya terjebak pada kemarahan pribadi yang tidak akan menolong korban sama sekali.***

Editor: Ayu Nida LF

Sumber: ICJR


Tags

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah