Banyak Stasiun TV Ngaku Sulit Dapat Hak Siar BRI Liga 1, Harga yang Dianggap Terlalu Mahal Jadi Penyebab Utama

10 Oktober 2022, 18:16 WIB
Banyak Stasiun TV Ngaku Sulit Dapat Hak Siar BRI Liga 1, Harga yang Dianggap Terlalu Mahal Jadi Penyebab Utama. /LIB/Emtek/ligaindonesiabaru.com

KABAR BESUKI - Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan ratusan orang membuat stasiun TV pemegang hak siar BRI Liga 1 disorot publik.

Indosiar sebagai bagian dari Emtek dan merupakan salah satu stasiun TV pemegang hak siar BRI Liga 1 disorot karena dianggap mempengaruhi kebijakan PT Liga Indonesia Baru (LIB) dalam penjadwalan pertandingan atas dasar klausul kontrak.

Akan tetapi di sisi lain, banyak stasiun TV juga mengaku sulit mendapatkan hak siar BRI Liga 1 karena harga yang dianggap terlalu mahal sebagai penyebab utama.

Baca Juga: Kerusuhan Pasca BRI Liga 1 Arema FC vs Persebaya Surabaya Tewaskan Ratusan Orang, Ridwan Kamil Sentil Indosiar

Mengacu pada data Nielsen Media Research Indonesia, tingkat penetrasi televisi di Indonesia masih sangat tinggi yakni di atas 90 persen, meski pertumbuhan media internet juga meningkat begitu pesat.

Bahkan dari segi advertising, televisi free to air masih menjadi media favorit bagi pengiklan untuk menjangkau pasarn secara lebih luas.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, persaingan dalam memperebutkan kue iklan untuk industri televisi free to air cenderung mengalami ketimpangan.

Dua grup media besar penguasa industri pertelevisian Indonesia yakni MNC Group dan Emtek tampak sangat dominan dalam perolehan audience share maupun revenue dari iklan.

Perolehan rata-rata gabungan audience share empat stasiun TV milik MNC Group yakni RCTI, MNCTV, GTV, dan iNews selalu konsisten melampaui angka 30-40 persen per tahunnya.

Begitu juga Emtek yang mampu meraup rata-rata perolehan audience share dari gabungan kepemirsaan SCTV, Indosiar, dan MOJI melebihi angka 25-30 persen per tahun.

Jika perolehan rata-rata audience share MNC Group dan Emtek digabungkan, angkanya mampu melebihi 70 persen dari total populasi penonton televisi, sehingga stasiun TV lainnya hanya mampu memperebutkan 30 persen jatah tersisa.

Baca Juga: Yusuf Ibrahim Sebut Rencana ANTV Mengambil Kembali Hak Siar Liga 1 Tergantung Keputusan Programming

Berdasarkan perolehan audience share tersebut, MNC Group dan Emtek dapat menguasai lebih dari separuh total kue iklan yang diperebutkan oleh seluruh stasiun TV di Indonesia.

Alhasil, mereka berdua masing-masing mampu membukukan pendapatan dari iklan free to air senilai triliunan rupiah per tahun, melampaui rata-rata industri pertelevisian Indonesia.

Program sinetron dan pencarian bakat menjadi penghasil revenue iklan terbesar bagi MNC Group dan Emtek, sehingga keuntungannya dapat digunakan untuk mensubsidi program lainnya.

Dengan pendapatan tersebut, MNC Group dan Emtek memiliki kemampuan membeli hak siar berbagai kompetisi olahraga dengan jumlah besar, nominal tinggi, bahkan durasi kontrak jangka panjang.

Meski siaran langsung pertandingan olahraga seperti BRI Liga 1 mampu mendatangkan rating dan share tinggi serta dibanjiri banyak sponsor, tak menjamin revenue yang didapat sebanding dengan uang yang dikeluarkan untuk membeli hak siarnya.

Walau demikian, MNC Group dan Emtek dapat memanfaatkan hak siar yang dimilikinya untuk mendongrak pendapatan dari segmen bisnis TV berbayar dan over the top (OTT) miliknya (jika hak siar dimiliki secara penuh untuk berbagai platform).

Bahkan, mereka juga berhak untuk memungut biaya bagi setiap pemilik venue komersial yang ingin menyelenggarakan nonton bareng serta hotel maupun TV kabel berskala lokal (daerah) yang ingin mendistribusikan ulang siarannya.

Baca Juga: ANTV Ingin Ambil Kembali Hak Siar Liga Indonesia dan F1 Setelah Lama Vakum, Yusuf Ibrahim: Kita Pernah Berjaya

Di sisi lain, stasiun TV atau grup media yang tidak memiliki revenue tahunan sebesar MNC Group dan Emtek harus bersabar untuk menabung lebih lama atau menunggu datangnya investor baru jika ingin mengambil alih hak siar BRI Liga 1 maupun pertandingan olahraga lainnya, meski peluang untuk menang bidding relatif kecil.

Sebagai contoh, TRANSMEDIA yang memiliki Trans TV dan Trans7 ditaksir hanya mampu meraup revenue tahunan sebesar 50 persen dari total revenue MNC Group atau Emtek, sehingga cenderung hanya mengandalkan MotoGP untuk memenuhi alokasi program sport mereka.

VIVA Group yang dahulu konsisten menyiarkan BRI Liga 1 saat masih bernama Indonesia Super League (ISL) berkat kucuran modal dari Bakrie Group dan investor lainnya, kini harus puas hanya dapat menyiarkan One Pride MMA dan Oneprix dengan alasan efisiensi biaya.

Adapun untuk BRI Liga 1 (saat masih bernama Gojek Traveloka Liga 1) ditambah Liga 2 pada musim 2017, kabarnya tvOne dapat menyiarkan berkat subsidi silang dari keuntungan program serial India dan Turki di ANTV sepanjang 2015-2016.

NET TV yang sempat sukses menyiarkan Jenderal Sudirman Cup 2015 dan Torabika Bhayangkara Cup 2016 juga mengaku 'menyerah' saat mengetahui harga hak siar BRI Liga 1 yang dianggapnya terlalu mahal ketika mengikuti bidding.

Bagaimana dengan TVRI? Meski berstatus sebagai stasiun TV milik negara, alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk lembaga ini terbilang masih jauh dari kata layak.

Bahkan menurut pengakuan Helmy Yahya yang pernah menjabat sebagai Direktur Utama TVRI, harga hak siar BRI Liga 1 ditaksir mencapai lima kali lipat dari harga sublisensi Liga Inggris antara TVRI dengan Mola TV pada musim 2019-2020.

Saat ini, TVRI praktis hanya mengandalkan Coppa Italia dan menyiarkan beberapa ajang olahraga dengan harga hak siar yang tergolong 'murah meriah' dan tidak memberatkan anggaran tahunan TVRI.***

Editor: Rizqi Arie Harnoko

Sumber: IDX Berbagai Sumber Nielsen Media Research

Tags

Terkini

Terpopuler