4 Kendala dalam Membangun Stasiun TV FTA untuk 'Niche Market' di Indonesia, Termasuk Faktor Demografi Pemirsa

11 September 2022, 08:53 WIB
4 Kendala dalam Membangun Stasiun TV FTA untuk 'Niche Market' di Indonesia, Termasuk Faktor Demografi Pemirsa. /Ilustrasi/PIXABAY/afra32

KABAR BESUKI - Indonesia merupakan negara dengan jumlah dan pangsa pasar stasiun TV free to air (FTA) terbesar di dunia.

Besarnya jumlah penduduk di Indonesia membuat sebagian pengusaha memberanikan diri untuk berinvestasi dalam bisnis stasiun TV FTA, mulai dari yang menyasar mass market hingga niche market.

Akan tetapi, membangun stasiun TV FTA untuk niche market di Indonesia memiliki kendala yang cukup signifikan dibandingkan dengan stasiun TV FTA lainnya yang menyasar mass market, meski di sisi lain dianggap terdapat potensi bisnis yang tak kalah menarik.

Ada empat kendala dalam membangun stasiun TV FTA untuk niche market di Indonesia yang akan dijelaskan selengkapnya dalam artikel ini.

Baca Juga: Nielsen Tetapkan Audience Treshold Meski Jumlah Stasiun TV FTA Bertambah Pasca ASO Demi Permudah Pengiklan

Berikut empat kendala dalam membangun stasiun TV FTA untuk niche market di Indonesia sebagaimana telah dirangkum Kabar Besuki dari berbagai sumber, antara lain:

1. Faktor Demografi Pemirsa

Salah satu kendala dalam membangun stasiun TV FTA untuk niche market di Indonesia adalah faktor demografi pemirsa televisi secara umum.

Meski mayoritas penduduk Indonesia saat ini didominasi oleh generasi milenial, namun demografi pemirsa stasiun TV FTA di tanah air justru didominasi oleh kalangan ibu rumah tangga (housewife) berusia 40 tahun ke atas.

Jika mengacu pada data Nielsen Media Research Indonesia, kalangan ibu rumah tangga berusia 40 tahun ke atas tak hanya mendominasi demografi pemirsa stasiun TV FTA di Indonesia, namun juga mendominasi durasi menonton dalam sehari.

Selain itu, kaum ibu rumah tangga dianggap sebagai pengambil keputusan (decision maker) terbaik dalam hal belanja rumah tangga.

Berkaca dari data tersebut, sangat sulit bagi stasiun TV FTA di Indonesia yang menyasar niche market di luar pangsa pemirsa mayoritas untuk menduduki posisi papan atas dari seluruh stasiun TV FTA lainnya.

2. Rendahnya Pendapatan Iklan

Iklan merupakan sumber pendapatan paling utama dari sebuah stasiun TV FTA khususnya di Indonesia untuk membiayai seluruh kebutuhan operasionalnya bahkan hingga untuk membeli hak siar sebuah program dengan biaya yang mahal.

Akan tetapi berdasarkan pengalaman pada dua hingga tiga dekade terakhir, hampir tidak ada stasiun TV FTA yang benar-benar mampu menghidupi dirinya sendiri dari pendapatan iklan yang dihasilkan dari setiap programnya.

Ketika ANTV baru saja mengudara pada tahun 1993 dengan menyasar niche market untuk kaum remaja dan pecinta olahraga, pendapatan iklan yang dihasilkan justru jauh di bawah RCTI, SCTV, TPI (sekarang MNCTV), bahkan Indosiar yang lahir dua tahun setelahnya (1995).

Hal yang sama juga dirasakan oleh NET TV yang harus menelan kerugian di lima tahun pertama mengudara, meski memiliki banyak program in-house yang dianggap 'berkelas dunia' di bawah komando Wishnutama yang pernah menorehkan sukses luar biasa bersama Indosiar dan TRANSMEDIA.

Sementara GTV cenderung lebih beruntung, karena stasiun TV yang sejak awal menyasar niche market remaja tersebut masih memperoleh sokongan sumber daya dari RCTI yang menjadi tulang punggung (backbone) bisnis MNC Group secara keseluruhan, meski akhirnya GTV harus merubah strategi untuk meningkatkan pendapatannya secara mandiri.

Adapun MOJI yang baru saja bertransformasi dari O Channel (juga menyasar niche market remaja dan pecinta olahraga) dan memperoleh back up kuat dari SCTV, Indosiar, dan Vidio masih membutuhkan pembuktian lebih lanjut, begitupun dengan saudara bungsunya yakni Mentari TV yang menyasar niche market untuk anak-anak.

Berdasarkan pengakuan dari kalangan pengiklan (advertiser), kalangan remaja dan anak-anak dianggap 'tidak memiliki daya beli' yang kuat terhadap sebuah produk, sehingga membuat pengiklan cenderung enggan membelanjakan uangnya untuk beriklan di stasiun TV FTA untuk niche market.

Baca Juga: Nielsen Gunakan Teknologi Audio Signature untuk Mengukur Rating dan Share TV Digital

3. Daya Jangkau (Coverage)

Kendala lainnya dalam membangun stasiun TV FTA untuk niche market di Indonesia adalah daya jangkau yang dianggap belum seluas dengan stasiun TV lainnya yang memiliki pangsa pemirsa lebih besar, bahkan dalam satu grup media sekalipun.

Sebelum digencarkannya program migrasi TV analog ke TV digital, banyak stasiun TV FTA untuk niche market kerap kali terkendala persoalan izin untuk memperoleh frekuensi jika ingin memperluas jangkauannya hingga ke pelosok Nusantara.

Bahkan jika sebuah stasiun TV FTA mampu untuk menjangkau seluruh Indonesia hanya dengan menyewa satu transponder di satelit, pemirsa masih harus membeli receiver dan antena parabola dengan harga yang tidak murah namun tidak semua program bisa ditonton karena kendala hak siar sehingga harus diacak (scramble).

Adanya program migrasi ke TV digital membuat beberapa stasiun TV FTA untuk niche market di Indonesia dapat memperluas jangkauannya melalui terestrial hingga menembus pelosok Nusantara, namun hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh grup media yang memperoleh hak mengelola multiplekser (MUX) di wilayah tujuan ekspansi.

Jika sebuah grup media tidak memperoleh hak mengelola MUX di sebuah wilayah namun ingin stasiun TV miliknya bisa mengudara via TV digital, memiliki Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) di wilayah tersebut merupakan sebuah keharusan karena regulasi mengharuskan hal tersebut sebagai syarat utama agar bisa menyewa sebuah MUX.

Baca Juga: Nielsen Siapkan Langkah Mitigasi Dampak ASO Bagi Industri TV, Perkenalkan Database 'Digital Ready Home'

4. Brand Awareness

Meski sebuah stasiun TV FTA untuk niche market sudah menjangkau secara nasional melalui jaringan terestrial dengan memanfaatkan MUX yang dikelola stasiun TV afiliasinya, hal tersebut tak serta merta membuat brand awareness dari stasiun TV yang bersangkutan ikut meningkat.

Terlebih, perbedaan segmentasi pasar dan corak program yang disiarkan antar stasiun TV dalam satu grup media membuat mayoritas pemirsa masih cenderung lebih memilih menonton stasiun TV yang sudah lebih dulu memiliki nama besar.

Sebagai contoh, MOJI dan Mentari TV yang sudah menjangkau pemirsa secara nasional melalui MUX yang dikelola Emtek masih belum sepenuhnya dikenal oleh publik khususnya di wilayah kabupaten atau kota (daerah tingkat dua).

Mayoritas pemirsa di wilayah kabupaten atau kota yang sudah dijangkau oleh stasiun TV FTA nasional melalui jaringan TV digital terestrial (DVB-T2) rupanya masih cenderung lebih tertarik untuk menonton program SCTV dan Indosiar dibandingkan dengan dua saudara mudanya.

Sementara MOJI cenderung hanya dikenal oleh sebagian penonton berusia muda (khususnya dari kalangan Kpopers), dan sesekali ditonton oleh pria dewasa yang ingin menyaksikan pertandingan sepak bola ataupun olahraga lainnya.***

Editor: Rizqi Arie Harnoko

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler