KABAR BESUKI – Dalam kenyataan hidup, Tuhan menciptakan manusia tidak untuk hidup sendiri, melainkan berpasangan dan saling membutuhkan satu sama lain.
Kehilangan pasangan sangat merugikan bagi orang dewasa yang serius mencintai pasangannya. Bahkan, kadang terjadi bahwa seseorang meninggal tidak lama setelah kematian pasangannya. Fenomena ini sering disebut sebagai sindrom patah hati atau kardiomiopati takotsubo.
Dilansir dari Healthline, Felix Elwert, Ph.D., profesor sosiologi di Universitas Wisconsin-Madison mengatakan,“Sindroma patah hati adalah kondisi sosial yang menunjukkan jika istri atau suami seseorang meninggal, hal ini menyebabkan angka kematian seseorang tersebut akan meningkat dan terus meningkat selama bertahun-tahun. Dan akan berefek mempercepat kematian”.
Elwert mengatakan bahwa sindrom patah hati adalah salah satu temuan tertua dalam demografi sosial. Sudah ada sekitar 150 tahun penelitian tentang kondisi ini. Namun fenomena ini masih menjadi misteri.
Penelitian Elwert selama 13 tahun tentang topik tersebut membantu menunjukkan beberapa jawaban. Yakni lebih dari sekadar hubungan romantis. Dua orang yang saling mencintai, lama kelamaan hubungan tersebut menjadi lebih dari sebuah persahabatan, saling tergantung satu sama lain, dan jika salah satunya meninggal, akan membahayakan kesehatan yang lain
Elwert mengatakan bahwa seorang istri yang jauh lebih muda dua hingga tiga tahun dari suaminya, akan selalu menjadi pengingat tentang waktu minum obat, hingga mengecek ke dokter. Jika istri meninggal, hal ini berarti perawat dan sekretaris di hidup pria tersebut meninggal dan kelangsungan hidup akan berpengaruh.
Pada efek jangka panjang kehilangan pasangan, American Heart Association (AHA) mendefinisikan kondisi medis sebagai nyeri dada tiba-tiba karena pengaruh stress emosional yang tinggi akibat dari rasa kehilangan. Hal ini membuat seseorang dapat mengalami depresi, terganggunya kesehatan mental dan penyakit jantung.