Rakyat Dihantam Resah Karena Gelombang Covid-19, Parlemen India Bangun Proyek Miliaran

- 8 Mei 2021, 16:42 WIB
 Tsunami Covid-19 India
Tsunami Covid-19 India /Xinhua

KABAR BESUKI - Pemimpin oposisi utama India Rahul Gandhi mengingatkan, kalau gelombang kedua Covid-19 yang mematikan di India tidak dikendalikan, akan menghancurkan India serta mengancam seluruh dunia.

Dalam surat yang dikirimkan ke pemerintah India, Gandhi memohon kepada Perdana Menteri Narendra Modi untuk mempersiapkan penguncian atau lockdown nasional, mempercepat program vaksinasi Covid-19 di seluruh negeri dan secara ilmiah melacak virus dan mutasinya.

Gandhi mengatakan, India yang merupakan negara terpadat kedua di dunia memiliki tanggung jawab di dunia yang terglobalisasi dan saling berhubungan ini untuk menghentikan pertumbuhan ledakan Covid-19.

Baca Juga: Aurel Hermansyah Hamil Muda, Mendapat Sejumlah Wejangan Sampai Dilarang Melakukan Hal Ini

Perdana Menteri India, Narendra Modi terus melanjutkan proyek renovasi gedung parlemen dan rumah pribadinya di tengah tsunami Covid-19.
 
Perbaikan kawasan parlemen itu memakan biaya senilai USD 1,8 miliar atau sekira Rp 25,6 triliun. 
 
Keputusan Modi melanjutkan mega proyek di New Delhi itu mendapat banyak kritikan dari oposisi politik maupun publik India.
 
Dilansir Kabar Besuki dari Antara, mereka menganggap pemerintah tidak seharusnya mengalirkan dana sebesar itu untuk proyek konstruksi disaat negara berjuang melawan pandemi Covid-19.
 
 
Saat ini, negara yang dijuluki Anak Benua itu, mencatat sekitar 400 ribu kasus infeksi dan 4.000 orang meninggal dalam waktu sehari. Angka tersebut menjadi kasus harian tertinggi di dunia.
 
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan dalam laporan mingguan, India menyumbang hampir setengah dari kasus virus corona yang dilaporkan di seluruh dunia minggu lalu dan seperempat dari kematian.
 
Tsunami Covid-19 itu menyebabkan krisis kesehatan, dengan rumah sakit berjuang mencari tempat tidur dan oksigen sebagai tanggapan atas lonjakan infeksi mematikan kedua. 
 
Banyak orang meninggal di ambulans dan tempat parkir mobil menunggu tempat tidur atau oksigen, sementara kamar mayat dan krematorium berjuang untuk menangani aliran jenazah yang tampaknya tak terhentikan.
 
 
Pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi telah banyak dikritik karena tidak bertindak cepat untuk menekan gelombang kedua. 
 
Bahkan setelah festival keagamaan dan demonstrasi politik menarik puluhan ribu orang dalam beberapa pekan terakhir yang menjadi penyebab penyebaran virus.
 
"Kami kehabisan udara. Kami sekarat," tulis pemenang Booker Prize Arundhati Roy dalam sebuah opini yang meminta Modi untuk mundur.
 
Setiap hari, media lokal mengabarkan ratapan keluarga yang kehilangan kerabatnya maupun rumah sakit yang kehabisan oksigen.
 
 
India hampir seperti dihantam badai yang dahsyat," kata SV Subramanian, profesor kesehatan populasi dan geografi di Sekolah Kesehatan Masyarakat TH Chan, kepada USA Today.
 
Tsunami Covid-19 yang menerpa "Negeri Bollywood" begitu kontras saat mereka dihantam gelombang pertama.
 
Pada Maret 2020, Perdana Menteri Narendra Modi mengumumkan pelarangan penerbangan baik domestik maupun internasional.
 
Modi juga memutuskan menutup pabrik, kantor, dan lini bisnis lain yang dianggap tidak esensial di masyarakat.
 
Kasus harian sempat mencapai puncaknya dengan 100.000 orang pada September. Namun, di bulan sesudahnya berangsur menurun.
 
 
Hingga akhirnya di Januari dan Februari tahun ini, New Delhi menyatakan kasus yang mereka laporkan begitu rendah.
 
Kekacauan pun terjadi. Rumah sakit terpaksa menampung para pasien di bangsal yang penuh sesak karena ranjang mereka sudah habis.***

Editor: Yayang Hardita

Sumber: Antaranews.com


Tags

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x