3 Alasan Tayangan Olahraga Relatif Jarang Mendatangkan Profit Meski Berpotensi Meraup Rating Tinggi

12 Juli 2022, 13:20 WIB
3 Alasan Tayangan Olahraga Relatif Jarang Mendatangkan Profit Meski Berpotensi Meraup Rating Tinggi. /Ilustrasi/ibc.org

KABAR BESUKI - Banyak kalangan menyebut tayangan olahraga sebagai komoditas yang sangat 'seksi' bagi industri televisi.

Hampir setiap stasiun televisi atau grup media di dunia termasuk Indonesia berlomba-lomba untuk mengambil hak siar tayangan olahraga karena dianggap berpotensi meraup rating tinggi.

Meski berpotensi meraup rating tinggi, tayangan olahraga ternyata justru relatif jarang mendatangkan profit yang sebanding dengan uang yang harus dikeluarkan untuk membeli hak siar.

Ada beberapa alasan yang membuat tayangan olahraga relatif jarang mendatangkan profit meski berpotensi meraup rating tinggi sebagaimana dijelaskan selengkapnya dalam artikel ini.

Baca Juga: Yusuf Ibrahim Sebut Rencana ANTV Mengambil Kembali Hak Siar Liga 1 Tergantung Keputusan Programming

Berikut tiga alasan tayangan olahraga relatif jarang mendatangkan profit meski berpotensi meraup rating tinggi sebagaimana dirangkum Kabar Besuki dari berbagai sumber, antara lain:

1. Harga Hak Siar yang Makin Meningkat

Sudah menjadi rahasia umum bahwa harga hak siar tayangan olahraga (dalam konteks live match) cenderung makin meningkat setiap tahunnya.

Mahalnya harga hak siar tayangan olahraga sangat berpengaruh terhadap kemampuan stasiun televisi atau grup media untuk membelinya.

Dalam beberapa tahun terakhir, kepemilikan hak siar tayangan olahraga di Indonesia cenderung didominasi oleh MNC Group dan Emtek, di mana keduanya merupakan grup media yang secara konsisten meraup profit hingga triliunan rupiah per tahunnya.

VIVA Group yang dahulu aktif dalam berbagai bidding tayangan olahraga kini justru jarang terlibat karena kondisi keuangan yang dianggap tak memungkinkan untuk membeli hak siar tanpa subsidi dari Bakrie & Brothers selaku pemegang saham utama (yang saat ini tampak lesu di berbagai bidang usaha, khususnya pertambangan).

Bahkan, TRANSMEDIA yang relatif stabil dalam menghasilkan profit juga hanya mampu membeli hak siar MotoGP dan World Superbike untuk kebutuhan tayangan olahraga di Trans7, karena nominal profit tahunan yang dianggap kurang memadai disertai kebijakan CT Corp yang jarang memberikan suntikan modal tambahan untuk perusahaan yang dinilai profitable.

Baca Juga: ANTV Ingin Ambil Kembali Hak Siar Liga Indonesia dan F1 Setelah Lama Vakum, Yusuf Ibrahim: Kita Pernah Berjaya

2. Pendapatan yang Tak Sebanding dengan Pengeluaran

Berkaitan dengan poin sebelumnya, alasan lain yang menyebabkan tayangan olahraga relatif jarang mendatangkan profit adalah pendapatan dari live match yang tak sebanding dengan pengeluaran terutama untuk memperoleh rights.

Meski tayangan olahraga masih berpotensi meraup rating tinggi khususnya untuk sepak bola dan bulutangkis, tak serta merta membuat profit mudah didapat meski banjir iklan selama penayangan berlangsung.

Hal tersebut tak lepas dari panjangnya durasi pertandingan, sehingga spot untuk dijual kepada pengiklan relatif terbatas, bahkan ketika sudah menggandeng brand rokok hingga menerapkan insertion di tengah pertandingan dalam bentuk apapun (squeeze frame, super impose, running text, dan lain-lain).

Ini berbeda dengan penayangan program lain seperti sinetron, talent search, dan lain-lain yang memiliki ongkos jauh lebih murah namun dapat dijual semahal mungkin.

Sehingga, revenue yang diperoleh dari tayangan tersebut bahkan bisa mencapai empat hingga lima kali lipat dibandingkan dengan tayangan olahraga.

Baca Juga: Wajib Tahu! Inilah Beberapa Pertimbangan Stasiun TV Dalam Membeli Hak Siar Sepakbola

3. Banyaknya Restriction dari Penyelenggara atau Distributor

Dalam kasus beberapa tayangan olahraga seperti Piala Dunia, Euro, Liga Champions, dan Olimpiade, penyelenggara atau distributor mencantumkan batasan atau restriction kepada setiap pemegang hak siar.

Pemegang hak siar tayangan olahraga seperti Piala Dunia, Euro, atau Liga Champions tidak diperbolehkan untuk menayangkan iklan dalam bentuk running text, super impose, atau squeeze frame di tengah pertandingan selain dari official sponsor.

Bahkan, stasiun televisi juga tidak diperbolehkan menampilkan placement dari produk yang bukan merupakan official sponsor dalam studio dengan menggunakan latar belakang logo maupun atribut dari ajang olahraga yang bersangkutan, karena hal tersebut dianggap sebagai 'ambush marketing' yang dilarang.

Sebaliknya, setiap broadcaster justru diharuskan untuk menayangkan official sponsor dari ajang yang disiarkannya secara cuma-cuma pada saat intro, outro, dan peralihan (break bumper) dari sesi live studio menuju commercial break maupun sebaliknya (menyesuaikan dalam klausul kontrak).

Sebagai contoh, setiap pemegang hak siar Liga Champions diharuskan untuk menayangkan iklan dari official sponsor yang bekerja sama langsung dengan UEFA secara cuma-cuma berdasarkan waktu yang telah ditentukan dalam klausul kontrak.

Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut berpotensi membuat broadcaster memperoleh sanksi mulai dari teguran hingga pencabutan hak siar, karena penyelenggara seperti FIFA dan UEFA beserta distributornya memiliki tim detektif atau intelijen yang tersebar di setiap negara yang menyiarkan.

Untuk menyiasatinya, stasiun televisi membuat program pre-match dan post-match dengan titel berbeda seperti Football Focus (RCTI), Soccer Center (SCTV), dan lain sebagainya agar tetap dapat melayani kepentingan pengiklan tanpa melanggar aturan demi menekan kerugian jika tak bisa mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.***

Editor: Rizqi Arie Harnoko

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler