Mahfudin Nigara Sebut 'Mental Gratisan' Jadi Alasan Utama Tinju Profesional di Indonesia Sulit Berkembang

- 21 Agustus 2021, 17:54 WIB
Mahfudin Nigara Sebut 'Mental Gratisan' Jadi Alasan Utama Tinju Profesional di Indonesia Sulit Berkembang
Mahfudin Nigara Sebut 'Mental Gratisan' Jadi Alasan Utama Tinju Profesional di Indonesia Sulit Berkembang /Ary Sudarsono/Tangkap Layar YouTube.com/Podcast V's Boxing Indonesia

KABAR BESUKI - Pengamat tinju Mahfudin Nigara menyebut 'mental gratisan' jadi alasan utama tinju profesional di Indonesia sulit berkembang.

Mahfudin Nigara menyebut hal tersebut sebagai sebuah ironi, karena Indonesia sesungguhnya memiliki potensi talenta yang luar biasa di bidang tinju.

"Bicara soal tinju profesional di Indonesia, nggak sedikit anak-anak kita yang punya talent luar biasa di situ. Tapi bagaimana mau bagus, bagaimana mau meningkat, kalau sports science nggak terlibat di dalamnya?," kata Mahfudin Nigara sebagaimana dikutip Kabar Besuki dari kanal YouTube Podcasr V's Boxing Indonesia dalam sebuah video yang diunggah pada 5 September 2020 lalu.

Baca Juga: Komentator Tinju Muhammad Ridwan Meninggal Dunia, Abdul Haris: Selamat Jalan Sahabat

Mahfudin Nigara menyebut tinju profesional Indonesia juga dialami oleh kompetisi sepak bola profesional Indonesia (dalam hal ini Liga 1 dan Liga 2).

Sebab, pendapatan utama tinju profesional di Indonesia masih cenderung mengandalkan penjualan tiket. Padahal menurutnya, tinju profesional di Amerika tanpa penonton masih tetap menjanjikan keuntungan meski tanpa kehadiran penonton.

"Memang problem paling utama di tempat kita bukan hanya tinju pro, tapi juga sepak bola yang non-amatir (Liga 1, Liga 2). Kita masih mengutamakan main income kita dari penonton (melalui tiket). Padahal sepak bola Eropa, tinju Amerika itu tanpa penonton, kenapa? Karena mereka udah nggak butuh penonton, jadi penonton itu cuma income tambahan," ujarnya.

Baca Juga: Indosiar Akan Tayangkan Tinju Dunia Manny Pacquiao vs Yordenis Ugas Minggu 22 Agustus 2021

Mahfudin Nigara juga menyinggung 'mental gratisan' yang menjangkiti masyarakat Indonesia, meski tak dipungkiri mayoritas masyarakat Indonesia berasal dari kelompok berpenghasilan menengah ke bawah.

Banyak masyarakat bahkan tokoh publik sekalipun merasa seolah-olah membayar sebuah tiket bukan merupakan hal yang penting. Beberapa tokoh publik dinilainya lebih suka diundang sebagai tamu VVIP daripada harus membeli tiket sebagaimana masyarakat umum yang ingin menonton.

Budaya membayar tiket harus dimulai dari tokoh publik karena dengan membayar tiket dapat membantu tinju profesional di Indonesia menjadi lebih berkembang.

"Persoalannya, di Indonesia ini orang lebih suka nggak bayar daripada bayar. Padahal di luar negeri saya nggak bosenin untuk mengingatkan ini, kita belum merasa bahwa itu sebuah kepentingan. Kalau kita bayar tiket itu artinya kita membantu. Ini harus dimulai dari per orang besar," katanya.

Baca Juga: Tarung Dimulai! Akhirnya Legenda Tinju Dunia Mike Tyson akan Bertanding di Ring dengan Evander Holyfield

Berbeda dengan di Indonesia, Mahfudin Nigara juga mengungkapkan fakta bahwa orang di luar negeri khususnya negara-negara maju yang justru lebih bangga membeli tiket dibandingkan menjadi tamu undangan VVIP.

Mahfudin Nigara menceritakan pengalamannya ketika meliput pertandingan tinju antara Mike Tyson vs Peter McNeeley pada tahun 1995 lalu, di mana ada sebuah fenomena Bruce Wallace dan Demi Moore yang mensomasi promotor Dong King karena diundang tanpa konfirmasi, padahal mereka berdua telah membayar tiket untuk menonton pertandingan tersebut.

"Tahun 1995, saya meliput pertama Mike Tyson lawan Peter McNeeley ada persoalan yang menarik. Pertama, ada orang Indonesia yang menang taruhan lawan Don King, jumlah taruhannya USD800.000. Kedua, Don King disomasi oleh Bruce Wallace dan Demi Moore karena diundang, karena tiketnya ring set USD5.000, buat mereka itu persoalan kecil," ujar dia.

Mahfudin Nigara menegaskan, promotor tinju profesional di Indonesia tidak akan berjaya selama 'mental gratisan' masih terus dipelihara khususnya dari kalangan tokoh publik, dan hal tersebut juga turut berdampak terhadap kesejahteraan petinju.

"Bagaimana promotor-promotor bisa berjaya kalau seperti itu? Lalu kalau promotornya nggak berjaya, bagaimana petinjunya bisa berjaya?," tuturnya.***

Editor: Rizqi Arie Harnoko

Sumber: YouTube Podcast V's Boxing Indonesia


Tags

Terkini

x