Sebaliknya, buruknya kualitas konten di televisi terestrial justru disebabkan oleh berkurangnya jumlah pemirsa 'terdidik' yang menonton acara televisi terestrial dengan menggunakan antena UHF.
Konsekuensinya, stasiun televisi terestrial harus lebih memperbanyak konten yang menyasar kelompok pemirsa dominan, yakni ibu rumah tangga yang disebut-sebut kurang memiliki literasi dalam memilih konten yang layak untuk ditonton jika ingin konsisten bertahan secara revenue, rating, maupun audience share.
Baca Juga: Peta Hak Siar Kompetisi Sepak Bola Musim 2021-2022 di Televisi dan OTT Indonesia
Mitos Kedua: Layanan OTT Akan 'Membunuh' Industri Televisi
Mitos lainnya yang sering beredar di kalangan anak muda adalah keberadaan layanan OTT yang disebut-sebut telah 'membunuh' industri televisi.
Faktanya di sejumlah negara seperti Amerika Serikat dan Indonesia, industri televisi tetap berkembang meski layanan OTT merajalela.
Bahkan untuk kasus di Indonesia, penetrasi televisi masih sangat dominan yakni pada kisaran angka 90 persen jika mengacu pada data Nielsen Media Research.
Sebaliknya, layanan OTT khususnya di Indonesia justru merupakan pelengkap bagi pemain industri televisi.
Beberapa pemain utama industri televisi nasional justru diketahui ikut menjadi pemain utama industri layanan OTT di tanah air untuk memperbesar ruang lingkup bisnisnya.
Di sisi lain, tayangan pertandingan olahraga (khususnya sepak bola) masih menjadi 'killer content' bagi industri televisi karena faktor eksklusivitas hak siar dan kenyamanan menonton sehingga 'memaksa' penggemarnya untuk menonton di layar televisi.