KABAR BESUKI – Mesin pencarian Google memajang tokoh yang berasal dari Indonesia, yakni Siti Latifah Herawati Diah yang merupakan aktivis dan jurnalis perempuan.
Siti Latifah Herawati Diah, perempuan kelahiran Tanjung Pandan, Bangka Belitung, 3 April 1917 dan merupakan salah satu tokoh pers Indonesia.
Ia merupakan istri dari Burhanuddin Mohammad Diah (BM Diah) yang merupakan Menteri Penerangan di tahun 1966-1967.
Ibunya, Siti Alimah binti Djojodikromo dan ayahnya, Raden Latip. R. Latip lulus dari sekolah kedokteran di Stovia pada tahun 1908.
Ia memulai praktiknya di pulau Bangka sebagai dokter spesialis di sebuah perusahaan pertambangan timah Belanda, Biliton Maatschappij.
Kemudian Dokter Latip pindah ke Batavia (Jakarta) dan Siti Latifah Herawati Diah bersekolah di Europeesche Lagere school di Salemba.
Namun, karena perselisihan orang tua dengan seorang guru bahasa Yunani, Siti Latifah Herawati Diah dan adiknya Saptarita memilih untuk keluar dari sekolah tersebut.
Ia dan adiknya Saptarita sempat mencicipi pendidikan di American School di Tokyo.
Ibunda Siti Latifah Herawati Diah memberikan dorongan dan semangat untuk putrinya itu bersekolah di Amerika Serikat dengan alasan saat itu AS adalah negara yang tidak melakukan penjajahan.
Setelah menyelesaikan studinya dan kembali ke tanah air pada tahun 1942, dengan Jepang yang mulai mendominasi Asia-Pasifik dan Indonesia.
Siti Latifah Herawati Diah muda terpaksa bekerja di Radio Hosokyuko. Salah satu stasiun radio militer Jepang dalam bahasa Jepang untuk propaganda Jepang.
Pada akhir September 1945, setelah pengumuman proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, BM Diah dan beberapa rekannya Joesoef Isak dan Rosihan Anwar mengangkat senjata.
Mereka menyita printer Jepang 'Djawa Shimbun' yang menerbitkan Harian Asia Raja. 1 Oktober 1945 diterbitkan Harian Medeka.
Pada bulan Oktober 1954, Siti Latifah Herawati Diah mendirikan dan menyutradarai sebuah harian berbahasa Inggris yang baru, the Indonesian Observer.
Tujuannya tak lain untuk mengkampanyekan aspirasi kemerdekaan Indonesia dan negara-negara yang masih terjajah.
Sebelum pemilihan umum 1999, Herawati dan Debra Yatim mendirikan Gerakan Perempuan Sadar Pemilihan (GPSP), yang kini berubah nama menjadi Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan.
Menurut Siti Latifah Herawati Diah, peran media sangat penting dalam memenuhi independensi. Perjuangan melalui media tanpa henti dan demoralisasi.
Siti Latifah Herawati Diah meninggal dunia pada 30 September 2016 di usia 99 tahun.***