Ibunda Siti Latifah Herawati Diah memberikan dorongan dan semangat untuk putrinya itu bersekolah di Amerika Serikat dengan alasan saat itu AS adalah negara yang tidak melakukan penjajahan.
Setelah menyelesaikan studinya dan kembali ke tanah air pada tahun 1942, dengan Jepang yang mulai mendominasi Asia-Pasifik dan Indonesia.
Siti Latifah Herawati Diah muda terpaksa bekerja di Radio Hosokyuko. Salah satu stasiun radio militer Jepang dalam bahasa Jepang untuk propaganda Jepang.
Pada akhir September 1945, setelah pengumuman proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, BM Diah dan beberapa rekannya Joesoef Isak dan Rosihan Anwar mengangkat senjata.
Mereka menyita printer Jepang 'Djawa Shimbun' yang menerbitkan Harian Asia Raja. 1 Oktober 1945 diterbitkan Harian Medeka.
Pada bulan Oktober 1954, Siti Latifah Herawati Diah mendirikan dan menyutradarai sebuah harian berbahasa Inggris yang baru, the Indonesian Observer.
Tujuannya tak lain untuk mengkampanyekan aspirasi kemerdekaan Indonesia dan negara-negara yang masih terjajah.
Sebelum pemilihan umum 1999, Herawati dan Debra Yatim mendirikan Gerakan Perempuan Sadar Pemilihan (GPSP), yang kini berubah nama menjadi Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan.