Bahkan, setiap penghuni kerangkeng tersebut dilarang untuk menggunakan alat komunikasi sehingga tidak bisa menghubungi keluarganya.
“Mereka ternyata tidak boleh pegang handphone, bahkan di awal-awal masuk, mereka tidak boleh berkomunikasi dengan keluarganya dan keluarganya juga tidak boleh mendatangi mereka,” terangnya.
Lebih lanjut, Edwin juga mengungkap bahwa pihak bupati dan keluarga penghuni membuat sebuah surat pernyataan.
Dalam surat pernyataan tersebut disebutkan bahwa keluarga tidak akan mengambil anak yang sudah berada di dalam kerangkeng selama 1,5 tahun dan jika anak tersebut sakit atau meninggal, keluarga tidak diizinkan untuk menuntut apapun.
Tak hanya itu saja, pihak LPSK juga menemukan bahwa ada warga yang anaknya meninggal di dalam kerangkeng bupati Langkat.
Pihak bupati Langkat mengatakan bahwa korban meninggal karena menderita asam lambung. Namun, setelah dibawa pulang, pihak keluarga justru menemukan bahwa tubuh korban dipenuhi luka.
“Pada tahun 2019 ada warga yang menitipkan anaknya di rutan ilegal ini, sebulan kemudian dikabarkan bahwa anaknya tersebut meninggal dunia,” jelasnya.
“Katanya meninggal dunianya karena asam lambung, tapi kemudian pihak keluarga jemput, ada bekas luka di wajahnya dan membuat keluarga curiga bahwa kematiannya tidak wajar,” pungkasnya.***