Jokowi Larang Ekspor Minyak Sawit, Airlangga Hartarto: Tetap Berlaku hingga Kembali Rp14 Ribu per Liter

- 27 April 2022, 17:32 WIB
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit/
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit/ /Pixabay/Hans/

KABAR BESUKI - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan pada 22 April 2022, bahwa akan ada larangan ekspor minyak sawit dalam upaya untuk menahan lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri.

Presiden Indonesia tersebut mengumumkan, bahwa larangan ekspor minyak sawit akan berlaku Kamis ini tepatnya 28 April 2022, tanpa menyebutkan rinciannya.

Laporan media menulis, larangan ekspor akan terbatas pada olein sawit yang dimurnikan, diputihkan dan dihilangkan baunya (RBD) serta bukan minyak sawit mentah.

Baca Juga: Menteri Investasi Bahlil Lahadalia Ungkap Investasi Asing atau FDI di Indonesia Melonjak hingga 32 Persen

RBD palm olein yang telah diproses merupakan bahan utama dalam minyak goreng dan digunakan dalam segala hal mulai dari makanan ringan hingga es krim.

Dikutip Kabar Besuki dari CNA para ahli mengatakan,  pengumuman oleh produsen minyak sawit terbesar di dunia itu dapat memiliki konsekuensi yang luas baik di dalam negeri maupun secara global.

Di dalam negeri, tidak ada jaminan harga minyak goreng akan turun, ungkap mereka. Langkah ini juga dapat menyebabkan tekanan fiskal, mengingat pentingnya ekspor minyak sawit bagi perekonomian. 

Untuk dampak global, konsumen perlu bersiap dengan harga minyak sawit yang digunakan dalam segala hal mulai dari minyak goreng hingga kosmetik akan naik, bahkan ketika produsen berupaya dalam berbagai hal untuk mencari alternatif.

Baca Juga: Larangan Ekspor Minyak Sawit Dianggap Berlebihan: Tidak Ada Jaminan Harga Turun

Harga minyak sawit mentah dunia telah melonjak lebih dari 50 persen sejak akhir tahun lalu, didorong oleh ketidakpastian pasokan minyak biji bunga matahari dari Ukraina dan Rusia serta dampak kekeringan pada kedelai Amerika Selatan yang mendorong produsen beralih ke minyak sawit sebagai alternatif.

Hal ini menciptakan insentif bagi produsen minyak sawit di Indonesia untuk meningkatkan ekspor, yang menyebabkan kelangkaan di tanah air.

Pada 27 Januari, Indonesia mencoba mengendalikan output ekspornya dengan mewajibkan semua produsen untuk menjual setidaknya 30 persen dari produk minyak sawitnya di dalam negeri. Pemerintah juga memperkenalkan batas harga 9.300 rupiah (US$0, 64) per liter minyak sawit mentah yang dijual di Indonesia dan menetapkan harga eceran maksimum untuk minyak goreng berbasis minyak sawit dengan harga Rp14.000 per liter.

Tetapi masalah penegakan hukum dan dugaan penimbunan oleh pencatut membuat orang Indonesia terus menghadapi kelangkaan minyak goreng, dengan antrian panjang terlihat di supermarket dan toko ritel.

Baca Juga: Harga Minyak Sawit Anjlok 50 Persen Usai Larangan Ekspor CPO: Harusnya Diurus BUMN Bukan Korporasi

Pada 17 Maret, pemerintah Indonesia menghapus kedua batas harga dalam upaya untuk mendorong produksi lebih banyak minyak goreng. Sementara langkah tersebut mengatasi masalah kelangkaan, penghapusan batas harga eceran mengakibatkan harga minyak goreng menggelembung sebanyak 70 persen. 

Melonjaknya harga minyak goreng dan kebutuhan lainnya adalah salah satu isu yang diangkat oleh para pengunjuk rasa ketika mereka melakukan beberapa demonstrasi menentang pemerintah bulan ini.

Menjelang hari raya Idul Fitri pekan depan, permintaan minyak goreng diperkirakan melonjak.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers Selasa malam mengatakan, larangan ekspor olein sawit RBD akan tetap berlaku sampai harga minyak goreng curah di Indonesia kembali ke Rp14.000 per liter.

“Jokowi berusaha menunjukkan kepada publik bahwa pemerintah tidak takut untuk mengambil tindakan drastic,” Kata Bhima Yudhistira, direktur think tank Center for Economic and Law Studies (CELIOS) yang berbasis di Jakarta mengatakan kepada CAN ikut mengomentari larangan ekspor.

Baca Juga: Lebaran 2022 Tinggal Hitungan Hari, Jumlah Penumpang Angkutan Umum Mulai Meningkat

“Jokowi frustrasi karena kebijakan sebelumnya gagal mengatasi kekurangan tetapi kebijakan terbaru ini sedikit berlebihan,” sambungnya.

Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan akan menghormati larangan tersebut namun meminta agar keputusan tersebut dipertimbangkan kembali.

“Kami mendukung setiap keputusan yang diambil pemerintah. Kami akan menjalankan kebijakan seperti yang diinstruksikan oleh presiden,” kata Tofan Mahdi selaku juru bicara GAPKI menanggapi pertanyaan CNA.

“Kami meminta semua pemangku kepentingan untuk memantau dampak dari kebijakan tersebut. Jika kebijakan tersebut berdampak negatif terhadap kelangsungan industri kelapa sawit, kami berharap pemerintah mengevaluasi kebijakan tersebut,” tambahnya.

Menurut angka GAPKI, Indonesia memproduksi 51,3 juta ton minyak sawit mentah dan olahan pada tahun 2021. Dari jumlah tersebut, 34,2 juta ton diekspor.

Berita larangan ekspor minyak telah menyebabkan harga buah kelapa sawit yang baru dipetik merosot antara 30 dan 50 persen, menurut Serikat Petani Indonesia (SPI).

“Jika ada larangan, akan ada kelebihan pasokan minyak sawit di Indonesia,” kata Pakar kebijakan publik Agus Pambagio kepada CNA.

Baca Juga: Malaysia Siap Penuhi Permintaan Minyak Sawit Global: Industri Lokal Akan Untung

“Kilang minyak akan penuh dan produsen tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan kelebihan pasokan. Itulah sebabnya sebagian besar (produsen) sekarang menahan diri untuk membeli (buah kelapa sawit) dari petani,” tambahnya.

Pambagio, yang juga salah satu pendiri perusahaan lobi PH&H, mengatakan larangan ekspor akan berdampak buruk pada 2,7 juta petani kecil yang memasok 40 persen dari produksi minyak sawit Indonesia. PH&H dulu mengadvokasi kepentingan produsen minyak sawit.

Ahmad Heri Firdaus, peneliti dari lembaga think-tank Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mempertanyakan efektivitas larangan tersebut dalam mengatasi lonjakan harga minyak goreng Indonesia di dalam negeri.

“Produsen kelapa sawit akan bertanya: 'apa insentif untuk mengubah semua surplus minyak sawit ini menjadi minyak goreng?'. Jika mereka merasa tidak akan mendapat untung, mereka lebih baik menunggu dan membiarkan (surplus) menganggur sampai moratorium berakhir atau menahan diri untuk tidak membeli dari petani,” kata Firdaus kepada CNA.

“Tidak ada jaminan (harga) minyak goreng akan kembali seperti semula,” sambungnya.***

Editor: Yayang Hardita

Sumber: Channel News Asia


Tags

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah