Harga Minyak Sawit Anjlok 50 Persen Usai Larangan Ekspor CPO: Harusnya Diurus BUMN Bukan Korporasi

- 27 April 2022, 16:10 WIB
Akibat Pelarangan Ekspor CPO, petani menderita kerugian 50 persen.
Akibat Pelarangan Ekspor CPO, petani menderita kerugian 50 persen. /Instagram.com/@sawit.ku

KABAR BESUKI - Setelah dikeluarkannya kebijakan larangan ekspor minyak goreng dan bahan baku minyak oleh Presiden Jokowi ternyata berdampak dengan harga kelapa sawit di dalam negeri.
 
Pelarangan ekspor crude palm oil (CPO) oleh pemerintah pusat disebut berdampak pada turunnya harga sawit termasuk di Riau.
 
Pada Jumat 22 April 2022, Jokowi menegaskan bahwa ekspor crude palm oil (CPO) dan minyak goreng dilarang total, dan larangan itu berlaku pada 28 April 2022 mendatang hingga batas waktu yang ditentukan.
 
 
Upaya ini dilakukan supaya pasokan minyak goreng dalam negeri kembali melimpah dan harganya murah.
 
Serikat Petani Indonesia (SPI) mengeluhkan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit anjlok hingga 50 persen usai Presiden melarang ekspor crude palm oil (CPO).
 
Ketua Umum SPI Henry Saragih menegaskan, kebijakan ini tidak hanya berdampak bagi harga sawit dan minyak goreng di pasar dunia, tapi harga di dalam negeri.
 
"Tentu saja akan terjadi banjir produksi CPO dalam negeri. Pada tahun 2021, total CPO Indonesia diperkirakan mencapai 46,89 juta sementara konsumsi nasional untuk agrofuel dan pangan diperkirakan 26,39 ton. Artinya terdapat 30 juta-an ton yang selama ini dialokasikan untuk diekspor," katanya melalui situs resmi, Senin, 25 April 2022.
 
 
Henry Saragih kembali menegaskan, bahwa kebijakan ini tentu berdampak kepada petani sawit anggota SPI.
 
"Hari ini hasil laporan petani SPI di berbagai daerah seperti Riau, Sumatera Utara, harga tandan buah segar (TBS) sawit seharga Rp1.700-Rp2.000 per kg, sudah terkoreksi ada yang 30 persen bahkan sampai 50 persen," katanya.
 
Henry menyampaikan, kebijakan pemerintah ini harus diikuti dengan kebijakan turunan selanjutnya yang bisa menjamin harga TBS petani sawit tetap layak.
 
"Perkebunan sawit harus diurus oleh rakyat, didukung oleh pemerintah dan BUMN, bukan oleh korporasi," tegasnya.
 
Henry memaparkan, saat ini korporasi lah yang menguasai perkebunan sawit Indonesia.
 
Dalam prakteknya terjadi banyak pelanggaran, dilansir Kabar Besuki dari spi.or.id.
 
 
"Perkebunan sawit korporasi telah mengubah hutan menjadi tanaman monokultur, menghilangkan kekayaan hutan kita, jaga sumber air berupa rawa-rawa, sungai dan sumber-sumber air lainnya. Korporasi sawit juga telah terbukti telah menggusur tanah petani, masyarakat dan rakyat sampai merusak infrastruktur di daerah," paparnya.
 
"Sudah benar kebijakan moratorium sawit yang melarang perluasan izin perkebunan sejak tahun 2017-2019, dimana ditemukan ada 1,7 juta hektar lebih perusahaan sawit yang melampaui HGU yang mereka miliki dan 3 juta hektar sawit dalam kawasan hutan," sambungnya.
 
Henry juga menyinggung kesejahteraan buruh-buruh korporasi sawit yang ditelantarkan.
 
"Kehadiran korporasi sawit sering mengabaikan izin-izin yang ada, ilegal, dan terjadi kasus pelanggaran kewajiban pajak yang harus dibayarkan kepada negara," tuturnya.
 
Oleh karena itu Henry menyampaikan, perkebunan sawit harus diserahkan kepada pengelolanya kepada petani dikelola usaha secara koperasi mulai dari urusan tanaman, pabrik CPO dan turunannya.
 
 
"Negara harus berperan dalam transisi ini dengan melaksanakan reforma agraria, tanah perkebunan atau pribadi yang luasnya di atas 25 hektar dijadikan tanah obyek reforma agraria (TORA)," tegasnya.
 
Henry melanjutkan, negara juga melalui BUMN yang mengurus turunan strategis produksi sawit, seperti agrofuel atau kepentingan strategis lainnya.
 
"Korporasi swasta bisa diikutkan di urusan pengolahan industri lanjutan, misalnya untuk pabrik sabun, kosmetik, obat-obatan, dan usaha industri turunan lainnya," lanjutnya.
 
Henry juga mengatakan bahwa hasil pajak ekspor melalui lansiran hasil perdagangan internasional bisa digunakan untuk proses transisi pengelolaan sawit dari korporasi ke petani dan negara.
 
 
"Luas produksi sawit kita harus menghormati dan melindungi kedaulatan pangan negara lain, negara yang mengimpor produksi sawit," tutupnya.***

Editor: Yayang Hardita

Sumber: spi.or.id


Tags

Terkait

Terkini

x