"Demikian juga hal yang sama bisa berlangsung di Rokan Hulu-Pekanbaru kira-kira segitu juga jalannya itu, dan itu melintasi hutan sawit," katanya.
Rocky Gerung melihat adanya sebuah ironi di balik fenomena minyak goreng yang mulai langka di pasaran Indonesia.
Pasalnya, Indonesia merupakan negara produsen sawit terbesar di dunia, namun tak mampu memproduksi minyak goreng untuk kebutuhan masyarakat luas.
Bahkan, filsuf kelahiran Manado itu mengungkapkan seolah-olah masyarakat harus memanjat pohon sawit hanya demi memperoleh minyak goreng, sebagaimana tikus yang mati di lumbung padi.
"Jadi bayangkan, Indonesia ini adalah produsen terbesar sawit tetapi minyaknya nggak ada. Ke mana? Kita mesti naik pohon sawit itu buat sekedar bikin gorengan untuk dijual. Ini seperti tikus mati di lumbung padi gitu kan?," ujar dia.
Rocky Gerung juga menyoroti pembatasan pengolahan sawit untuk produksi suplai bahan pangan (dalam hal ini minyak goreng) demi meningkatkan produksi bahan bakar biodiesel.
Menurutnya, kebijakan pemerintah untuk membatasi produksi minyak goreng diduga kuat karena memiliki nilai ekonomi tinggi.
Dia juga menilai bahwa pemerintah seolah hanya berpihak pada bisnis besar, yakni kelompok oligarki yang menguasai industri energi khususnya penyedia biodiesel.