Konsumsi Minuman Manis dapat Tingkatkan Risiko Kanker pada Wanita Usia 50 Tahun Ke Bawah, Menurut Ahli

10 Mei 2021, 13:51 WIB
Ilustrasi minuman manis /Anna Hecker/Unsplash

KABAR BESUKI - Pada wanita dewasa, minum dua atau lebih minuman manis dengan gula tambahan (SSB) per hari dikaitkan dengan peningkatan risiko dua kali lipat untuk mengembangkan kanker kolorektal dini (EO-CRC).

Mengganti asupan SSB dengan minuman yang dimaniskan secara artificial seperti kopi, susu rendah lemak, atau susu murni dapat dikaitkan dengan risiko yang lebih rendah untuk mengembangkan EO-CRC.

Setiap porsi SSB harian yang dikonsumsi orang berusia antara 13 dan 18 tahun dapat meningkatkan risiko pengembangan EO-CRC sebesar 32 persen.

Baca Juga: Kasus Penembakan di AS Terjadi Lagi, Pria Tembak 6 Orang Lalu Bunuh Diri Saat Pesta Ulang Tahun di Colorado

Kanker kolorektal adalah penyebab paling umum kedua dari kematian terkait kanker di Amerika Serikat.

Insiden EO-CRC, yang mengacu pada orang di bawah usia 50 tahun mengembangkan kondisi tersebut, telah meningkat tajam di beberapa negara.

Sebuah studi baru juga mengaitkan minum dua atau lebih SSB per hari di masa dewasa dengan risiko dua kali lipat terkena kanker usus sebelum usia 50 tahun.

Para peneliti menemukan bahwa setiap pemberian SSB harian di antara wanita dewasa dapat dikaitkan dengan risiko 16 persen lebih tinggi untuk mengembangkan EO-CRC.

Baca Juga: Usai Nubruk Sepeda Ontel Dua Pengendara Motor Tewas Ditempat, Ini Kronologinya

Juga, penelitian menemukan bahwa setiap tambahan SSB yang disajikan per hari di antara individu berusia 13 dan 18 tahun dapat dikaitkan dengan peningkatan 32 persen risiko pengembangan EO-CRC.

Contoh SSB termasuk minuman ringan, minuman buah kemasan, minuman energi, dan minuman olahraga. Minuman manis adalah sumber utama gula tambahan dalam makanan Amerika.

Faktanya, dari 1977 hingga 2001, asupan energi dari SSB meningkat sebesar 135 persen.

Para peneliti menggunakan data dari 95.464 partisipan dalam Nurses Health Study II. Ini adalah studi pemantauan yang berlangsung terhadap 116.430 perawat terdaftar di AS, semua wanita yang berusia 25 hingga 42 tahun saat mereka mendaftar pada tahun 1989.

Baca Juga: Terbongkar! Ini Alasan WNA China Bisa Masuk ke Indonesia, dengan Alasan Ini Mereka Melenggang Mulus

Setiap 4 tahun mulai tahun 1991, wanita dalam studi tersebut melaporkan tentang apa yang mereka makan dan minum menggunakan makanan yang divalidasi.

Pada tahun 1998, peneliti meminta partisipan untuk mengingat kembali status kesehatan dan kebiasaan gaya hidup mereka saat remaja.

Selain itu, 41.272 wanita melaporkan tentang apa yang biasanya mereka makan dan minum serta jumlah barang tersebut antara tahun 1960 dan 1982. Mereka berusia antara 13 dan 18 tahun pada saat dilakukan penelitian.

Para peserta juga memberikan informasi tentang faktor-faktor yang berpotensi, termasuk riwayat keluarga, kebiasaan gaya hidup mereka, dan penggunaan rutin aspirin, obat antiinflamasi nonsteroid, atau suplemen vitamin.

Baca Juga: Larangan Mudik, Video Mobil Iring-iringan Jokowi Disebut Pulang Kampung 'RI 1 Pulang Kampung' Cek Fakta!

Selama 24 tahun pemantauan, 109 wanita mengembangkan kanker usus sebelum usia 50 tahun.

Penulis penelitian menulis bahwa temuan mereka “menambah bukti epidemiologi unik bahwa asupan SSB sebagian dapat berkontribusi pada peningkatan CRC yang cepat pada orang dewasa yang lebih muda”.

Mengganti SSB dengan susu rendah lemak atau susu murni tampaknya bermanfaat, menurut rekan penulis studi Dr. Yin Cao, profesor bedah di Fakultas Kedokteran Universitas Washington di St. Louis, MO.

Baca Juga: Daftar Film yang Akan Tayang dalam K-Movievaganza Spesial Lebaran di Trans7, Ada Parasite dan Train to Busan

Dilansir Kabar Besuki melalui laman Medical News Today, Dr. Yin Cao menunjukkan “bahwa mengganti satu porsi harian SSB dengan jumlah setara susu rendah lemak atau total susu dikaitkan dengan risiko 35-36 persen lebih rendah dari EO-CRC.”

Para peneliti menunjukkan beberapa keterbatasan studi mereka. Pertama, mereka mengingatkan bahwa ini adalah studi observasi, yang hanya dapat menetapkan korelasi, bukan penyebab. Mereka juga mencatat bahwa mayoritas peserta adalah perempuan kulit putih, sehingga temuan tersebut mungkin tidak berlaku untuk laki-laki atau kelompok etnis lain.***

Editor: Yayang Hardita

Sumber: Medical News Today

Tags

Terkini

Terpopuler