Korban Perkosaan Wajib Mendapatkan Hak Atas Layanan Aborsi Aman Sesuai Undang-Undang

- 27 Agustus 2022, 17:30 WIB
Korban Perkosaan berhak atas layanan aborsi aman/dok pribadi
Korban Perkosaan berhak atas layanan aborsi aman/dok pribadi /

KABAR BESUKI – Hak atas layanan aborsi aman bagi korban perkosaan telah diatur dalam Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan) juncto Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (selanjutnya disebut PP Kesehatan Reproduksi).

Dalam Undang-Undang Kesehatan Pasal 75 ayat 2 telah mengatur bahwa aborsi merupakan tindakan legal bagi perempuan dengan kehamilan beresiko seperti hamil di usia terlalu muda atau terlalu tua, kondisi medis tertentu yang dapat membahayakan nyawa ibu, dan untuk korban perkosaan.

Bagi korban tentunya akan merasa tidak adil karena korban mengalami penderitaan secara fisik, psikis, dan sosial menghadapi tindakan perkosaan tersebut. Ditambah lagi, kehamilan akibat perkosaan dapat memperparah kondisi mental korban yang sebelumnya telah mengalami trauma berat akibat peristiwa perkosaan tersebut.

Baca Juga: UPDATE Hasil Semifinal Kejuaraan Dunia BWF 2022: Viktor Axelsen Melaju dengan Mulus ke Final

"Regulasi tentang aborsi aman di Indonesia memberikan ruang kepada mereka yang ibunya gawat darurat, gangguan tumbuh kembang janin atau indikasi kesehatan, dan korban perkosaan," jelas dr. Marcia Soumokil selaku Direktur Eksekutif Yayasan IPAS Indonesia kepada Kabar Besuki saat ICIFPRH 2022.

Pasal 77 Undang-Undang Kesehatan menyebutkan bahwa Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Yang dimaksud dengan praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan peremuan yang bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak profesional, tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan yang berlaku, diskriminatif; atau lebih mengutamakan imbalan materi dari pada indikasi medis.

Tindakan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling. Konseling tersebut meliputi konseling pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor.

Konseling pra tindakan yang harus dilakukan sebelum aborsi bertujuan untuk mengidentifikasi kesiapan pasien, menjelaskan proses yang harus dilalui untuk mendapatkan layanan aborsi, menjelaskan tahapan tindakan aborsi dan membantu perempuan untuk secara mandiri mengambil keputusan setelah mendapatkan informasi.

Sedangkan konseling pasca tindakan terdiri atas observasi dan evaluasi kondisi pasien, membantu pasien memahami kondisi fisik pasca aborsi, menjelaskan perlunya kunjungan ulang, konseling lanjutan atau tindakan rujukan bila diperlukan, dan menjelaskan penggunaan alat kontrasepsi.

Baca Juga: Prediksi dan Jadwal Barcelona vs Valladolid Pekan Ketiga La Liga Senin 29 Agustus 2022

“Biasanya korban perkosaan mengakses aborsi tidak aman. Padahal negara memiliki layanan kesehatan, untuk mereka yang datang akibat perkosaan dan juga komplikasi akibat layanan tidak aman. Bahkan tidak hanya layanan fisik, tapi mental juga,” lanjut dr. Marcia.

Ia juga menambahkan bawa hal tersebut disebabkan oleh stigma dalam masyarakat. Terutama pemberi layanan seperti tenaga kesehatan dan kepolisian.

Berdasarkan sebuah jurnal penelitian pada tahun 2018 yang meneliti angka aborsi di pulau jawa ditemukan bahwa sekitar 73% perempuan yang melakukan tindakan aborsi secara mandiri, sedangkan 21% diantaranya melaporkan bahwa tindakan aborsi dibantu oleh dokter atau bidan. Sekitar 6% sisanya pergi ke penyedia layanan tradisional dan apoteker.

Sedangkan sekitar 40% perempuan di pulau jawa ditemukan menggunakan metode kontrasepsi dengan jamu.

Sebagian perempuan (6%) melaporkan mendapatkan tindakan pembedahan, 16% menggunakan pil atau metode pengobatan lain, dan 39% menggunakan metode lainnya seperti pijat yang dilakukan oleh penyedia layanan tradisional.

Baca Juga: One Piece 1058: Perseteruan Terjadi Lagi, Sanji Tak Terima Dipanggil Si Nomor 4

Pada kasus kehamilan karena perkosaan, PP 61/2014 mengatur usia kehamilan paling lama secara lebih detil menggunakan ukuran hari yaitu 40 hari yang dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Sedangkan untuk kedaruratan medis tidak dibatasi, sesuai dengan ketentuan UU Kesehatan. Tidak terdapat keterangan mengenai landasan berpikir dari perbedaan ketentuan ini.

Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) jangka waktu 40 hari sangat problematik karena rata-rata korban pemerkosaan mengetahui dirinya hamil di atas 40 hari.

Pasal 29 pada peraturan ini menyatakan bahwa penanganan korban kekerasan seksual harus dilakukan secara holistik dan multidisipliner dengan mempertimbangkan aspek hukum, keamanan dan keselamatan, serta kesehatan fisik, mental, dan seksual.  

Korban tidak hanya mendapatkan keadilan, mereka juga mendapatkan pemulihan, pengobatan serta rehabilitasi. Selain itu, korban perkosaan juga dapat mengakses kontrasepsi darurat untuk mencegah kehamilan.***

Editor: Ayu Nida LF

Sumber: Wawancara Eksklusif


Tags

Terkait

Terkini

x