KPK Nilai Pengkategorian Limbah FABA Sebagai B3 Berpotensi Tingkatkan Resiko Korupsi

23 Maret 2021, 10:25 WIB
Kantor KPK /Instagram/official.kpk

KABAR BESUKI - Lili Pintauli Siregar selaku Wakil Ketua KPK menyatakan bahwa terdapat penemuan beberapa kelemahan mengenai pengkategorian limbah abu terbang dan abu padat (FABA) sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).

Hal tersebut Ia sampaikan berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh lembaga KPK.

"Pada tahun 2020, KPK juga telah melakukan telaah terhadap pengelolaan FABA batu bara di PLTU. Tujuan kegiatan ini juga sama halnya untuk mencegah agar tidak terjadi tindak pidana korupsi dan juga pada potensi kerugian negara yang disebabkan terhadap kelemahan berbagai kebijakan ini," ujar Lili Pintauli Siregar dikutip Kabar Besuki dari laman Antara pada 23 Maret 2021.

Baca Juga: Dolar Semakin Menurun, Diduga Akibat Kemunduran dari Imbal Hasil Obligasi Amerika Serikat

 Saat menjadi pembicara dalam diskusi daring pada Senin bertema "Menjawab Dilema FABA", Lili juga mengungkapkan bahwa setelah ditelaah lebih lanjut, KPK menemukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang memasukkan FABA sebagai limbah B3 memiliki beberapa kelemahan.

"Kelemahan itu antara lain dari hasil studi literatur didapatkan bahwa pengkategorian FABA sebagai limbah B3 ini tidak sesuai dengan praktik di berbagai negara internasional seperti di Jepang, Amerika Serikat, Australia, China, Eropa di mana FABA dikategorikan sebagai limbah non B3," jelas Lili.

Baca Juga: Jangan Salah Pilih! Begini Cara Memilih dan Memakai Face Oil yang Tepat Sesuai dengan Jenis Kulit Wajah Anda

Dalam hal ini, menurut pernyataanya, sebagian besar PLTU milik PLN dengan energi primernya berasal dari batu bara yang menghasilkan FABA.

KPK menilai bahwa dimasukkannya FABA sebagai limbah B3 dapat meningkatkan risiko korupsi pada tata kelola FABA dan mengurangi peluang pada pemanfaatannya secara maksimal sebagai bahan baku pada industri konvensional.

Baca Juga: Inilah 5 Manfaat Rahasia Menggunakan Face Oil untuk Kecantikan Wajah Wanita, Termasuk Melembapkan Kulit

"Di mana pengelolaan harus patuh pada PP tersebut dan ini menyebabkan timbulnya pembiayaan yang menjadi salah satu unsur peningkatan BPP (Biaya Pokok Penyediaan) PLN di tahun 2019 sebesar Rp74 per kWh dan secara signifikan kenaikan BPP per kWh untuk pembangkit-pembangkit listrik di luar Pulau Jawa seperti PLTU Labuhan Angin pada Sumatera ini sebesar Rp790,65 per kWh," jelas Lili.

Tahun lalu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) jug sempat mengusulkan kepada Pemerintah agar Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) atau limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batubara pada pembangkit listrik tenaga uap PLTU, boiler, dan tungku industri dikeluarkan dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).***

Editor: Surya Eka Aditama

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler