Tanggapi Revisi UU ITE yang Sedang Bergulir, Komisioner KPI: Harus Berkaca pada UU Penyiaran dan UU Pers

- 2 Maret 2021, 12:43 WIB
Hardly Stefano, Anggota Komisioner KPI Pusat. /kpi.go.id
Hardly Stefano, Anggota Komisioner KPI Pusat. /kpi.go.id /

 

KABAR BESUKI – Masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan mendesak Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) segera direvisi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) disebabkan adanya pasal karet yang kerap menciptakan kegaduhan.

Hardly Stefano selaku salah satu anggota Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memberikan dukungannya terhadap rencana tersebut.

Menurutnya, beberapa pasal karet dalam UU ITE yang kerap menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat harus direvisi sesegera mungkin untuk menjamin adanya kebebasan berpendapat di muka umum.

Baca Juga: Bangga! Ryeowook Super Junior Mengcover Lagu Berbahasa Indonesia Trending di YouTube

“Memang ada yang berpandangan bahwa UU ITE ini diperlukan untuk mencegah dampak negatif dari dinamika komunikasi di internet,” kata Hardly dalam sebuah webinar sebagaimana dilansir Kabar Besuki dari laman resmi KPI Pusat.

“Namun tak sedikit pula yang berpandangan bahwa UU ITE ini merupakan UU karet yang berpotensi membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat,” ujarnya.

Hardly menyarankan agar revisi UU ITE yang menjadi wacana belakangan ini menggunakan pendekatan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers.

Baca Juga: Melly Goeslaw Pamer Foto Senyum Sumringah sang Suami, Sukses Bikin Warganet Baper

Kedua regulasi tersebut dianggap mengedepankan pendekatan preemtif dan preventif, meski lebih menitikberatkan pada kebebasan dan tanggung jawab berekspresi dalam media mainstream.

“Pelanggaran terhadap norma dalam UU Pers dilakukan melalui mekanisme verifikasi, mediasi dan penyampaian klarifikasi dan permintaan maaf secara terbuka. Sedangkan pelanggaran pada norma UU Penyiaran, selain dilakukan verifikasi dan mediasi, juga dikenakan sanksi administrasi. Sanksi pidana menjadi pilihan terakhir untuk dikenakan,” ujar Hardly.

Baca Juga: Catat ! Film Terbaru Ini Bakal Tayang di Netflix Pada Maret 2021, Cocok Ditonton Bersama Keluarga

“Pola seperti ini dapat diterapkan dalam penanganan kasus pelanggaran UU ITE. Jadi lebih persuasi dan edukatif. Lantas, sebaiknya pola yang mengedepankan pendekatan represif dihilangkan dalam paradigma UU ITE hasil revisi nanti,” tuturnya menambahkan.

Beberapa waktu yang lalu, Kapolri telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 2 tahun 2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif pada 19 Februari 2021 lalu.

Dalam surat tersebut, seluruh penyidik kepolisian diminta untuk mengedepankan restoactive justice dalam penegakan UU ITE.

Baca Juga: Netizen dan Alumni Indonesian Idol Sayangkan Kirana Tereliminasi Lebih Cepat, Ainun Irsani: Semangat Ya!

“Keluarnya surat edaran dari Kapolri terkait penegakan UU ITE ini, kita anggap sebagai terobosan hukum, namun sekaligus menunjukkan bahwa memang ada yang kurang tepat dalam paradigma penegakan hukum UU tersebut,” kata pria alumni Magister Kebijakan Publik Universitas Airlangga itu.

“Dengan ancaman hukuman pidana, terlihat bahwa paradigma UU ITE lebih mengedepankan prinsip represif-imperatif. Surat edaran ini telah memberi nuansa restoactive, dengan mengedepankan persuasi dan edukasi, serta langkah preemtif dan preventif,” tuturnya.***

Editor: Surya Eka Aditama

Sumber: KPI


Tags

Terkini