"Terlebih tindakan pengambilan paksa kendaraan bisa dijerat pasal 362 dan/atau pasal 365 KUHP," ujar Bamsoet.
Ia menjelaskan, dalam putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 diatur kreditur atau kuasanya (debt collector) harus terlebih dahulu meminta permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri untuk bisa menarik objek jaminan fidusia.
Menurutnya , kreditur atau kuasanya juga tetap boleh melakukan eksekusi tanpa melalui pengadilan dengan syarat pihak debitur mengakui ada wanprestasi.
"Kewajiban debitur menyelesaikan piutangnya merupakan satu sisi yang tidak boleh dijadikan alasan melakukan teror yang disertai penggunaan kekerasan, ancaman, maupun penghinaan terhadap martabat debitur," tuturnya.
Selain itu, debt collector yang menyita sepihak atau mengambil secara paksa barang-barang milik debitur secara melawan hukum, dapat dilaporkan ke polisi.
Politisi Partai Golkar itu menilai perbuatan tersebut bisa dijerat pasal 362 KUHP tentang pencurian, dan jika dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan maka juga bisa dijerat dengan pasal 365 ayat (1) KUHP.
"Kreditur sebagai pihak yang memberi kuasa terhadap debt collector punya peran besar menegakan etika penagihan, antara lain dilarang memaki, dilarang menggunakan ancaman atau kekerasan atau pun mempermalukan," ucap Bamsoet.
Baca Juga: H-2 Jelang Lebaran, Bandara Internasional Juanda Surabaya Sepi Penumpang
Tidak hanya itu, menurutnya kreditur sebagai pihak yang memberi kuasa terhadap debt collector tidak menagih kepada pihak yang tidak berhutang walaupun itu adalah keluarga debitur, dan tidak menagih di luar jam kerja yang bisa mengganggu kenyamanan dan keamanan masyarakat.