"Karena itu, yang harus kita lakukan adalah bagaimana memperbaiki governance, baik Pilkada maupun Pemilu, itu yang paling penting. Termasuk mengatur bagaimana buzzer-buzzer ini, apakah ini justified ataukah tidak, harus jelas," ujarnya.
Baca Juga: Rocky Gerung Ajak 'Buzzer' Debat Terbuka di Social Media Jika Tak Sependapat dengan Dirinya
Refly Harun juga menyayangkan pembelahan atau polarisasi antara dua kelompok masyarakat yang terus terjadi di tengah masyarakat pasca Pemilu 2014, Pilkada DKI Jakarta 2017, dan Pemilu 2019.
Dia mempertanyakan penyebab hal itu terjadi, terlepas dari siapapun yang berhasil menjadi pemenang Pemilu maupun Pilkada.
"Termasuk juga pasca Pemilu dan Pilkada. Masak pembelahan di masyarakat itu terus terpelihara. Jadi seolah-olah setelah Anies menang, kok terasa pembelahan masih terjadi. Setelah Jokowi menang, kok terasa pembelahan itu masih terjadi," katanya.
Terlepas dari siapa pemicunya, dia menyimpulkan bahwa pemimpin terpilih bertanggung jawab penuh dalam mengatasi retaknya kohesivitas sosial akibat perbedaan pandangan politik.
"Tetapi kalau kita bicara mengenai kohesivitas sosial, maka sesungguhnya itu adalah kegagalan pemimpin yang terpilih, siapapun dia, di tingkat apapun dia," ujar dia.
Terakhir, Refly Harun menawarkan solusi untuk mengatasi perilaku buzzer yang dinilainya melampaui batas sekaligus mewujudkan sosok pemimpin yang jujur dan amanah.
Menurutnya, tidak ada jalan lain selain dengan mewujudkan regulasi presidential treshold nol persen.