KABAR BESUKI – Yayak Yatmaka adalah seorang seniman dan sekaligus aktivis yang berkiprah dari zaman orde baru sampai masa reformasi.
Yayak Yatmaka sendiri lahir di Jogjakarta, pada tahun 1956. Ia adalah orang yang ikut menyuarakan penolakan penambangan bersama warga Desa Wadas lainya.
Yayak Yatmaka kini menjadi sorotan publik karena kasusnya yang diamankan oleh pihak kepolisian, bersamaan puluhan warga Wadas yang menolak penambangan batuan Andesit.
Yayak Yatmaka bersama dengan 63 warga desa Wadas lalu dibebaskan pada Rabu, 9 Februari 2022.
Seniman yang memiliki nama asli Bambang Adyatmata ini pernah bersekolah di Taman Siswa, lalu Taman Indria, sampai Taman Muda.
Hingga pada akhirnya, ia menjadi seorang aktivis pada saat berkuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Lulusan Fakultas Senirupa dan Desain ini sudah berkiprah di dunia aktivis dalam gerakan sosial dari tahun 1977.
Yayak juga pernah turun kejalan untuk menyuarakan tuntutannya kepada Soeharto untuk turun dari jabatannya, bersama dengan 8000an pada tahun 1977/1978, di depan kampus ITB.
Yayak dalam menyuarakan aspirasinya tidak hanya turun di jalan saja, tapi ia juga mengkritik melalui karya-karya seninya, dari lukisan sampai musik.
Kritik-kritik orang bernama Bambang ini, bahkan pernah sampai membuatnya menjadi buronan para aparat zaman orde baru.
Baca Juga: Refly Harun Sebut Insiden Wadas Bisa Jadi Batu Sandungan Ganjar Pranowo di Pilpres 2024
Yayak kerap kali terjun dalam kasus-kasus agraria pada saat ia aktif dalam gerakan-gerakan sosial di luar kampus.
‘Tanah untuk Rakyat’ adalah poster yang sempat membuatnya menjadi kejar-kejaran pada masa Orba di tahun 1991.
Akibat poster itu, Yayak bersama anak dan istrinya harus mengungsi ke Jerman. Dan selama di sana, ia masih saja menyuarakan bentuk protes kepada rezim Suharto untuk membela korban-korban orba.
Yayak lalu kembali lagi ke Indonesia pada tahun 2005, ia kemudian memilih untuk menetap di Jogjakarta.
Yayak juga memiliki prinsip yang ia tiru dari Ki Hajar Dewantara. Bahwa semua orang itu guru.
Ia memilih menjadi seorang yang cinta akan budaya, karena pengaruh lingkungan keluarganya, yang juga pecinta budaya, bahkan ada yang jadi budayawan.
“Seperti prinsip yang dibawain Ki Hajar dalam didikannya. Bahwa semua orang itu guru,” kata Yayak dalam sebuah wawancaranya bersama anggota Kanal YouTube Kelurahan Amsterdam, yang mengunggah video pada 7 Januari 2020.
“Guru-guru yang ada di sekitarku pada waktu itu, dari sejak bayi, karena kami itu termasuk keluarga besar taman siswa, itu rata-rata adalah pecinta budaya, malah beberapa itu budayawan,” lanjut Yayak melengkapi kalimatnya.
Yayak juga aktif menyuarakan kritikannya kepada pemerintah dalam media sosial Instagram dan Twitter.
Beberapa karya seninya ia unggah dalam akun Instagram @yayakyatmaka. Seperti karya ‘Pohon Terakhir Telah Mati’, ‘Reformasi Agraria, Segera!’, ‘Bagi dong, Oom..!’, dan masih banyak lagi karyanya.
Yayak juga kerap menciptakan lagu anak-anak pada zamannya. Lagu-lagu itu memiliki makna filosofi pada setiap liriknya. Seperti lagu ‘Sama-Sama’ yang ditujukan untuk anak-anak agar suka belajar.
Bahkan, beberapa lagu karya Yayak pernah dipopulerkan oleh grub band Marjinal. Yaitu lagu yang berjudul ‘Anak Merdeka’ dan ‘Roti Matahari’.
Kini, Yayak meski sudah berusia sekira 66 tahun, ia masih saja aktif dalam gerakan sosial.
Seperti halnya kasus Wadas, yang baru-baru ini menjadi perbincangan hangat di media sosial, mengenai penangkapan warga yang menolak pertambangan di desa itu.
Yayak bersama 63 warga lainya harus diamankan oleh pihak berwenang pada Selasa, 8 Februari 2022.
Yayak beserta para warga desa Wadas yang diamankan oleh pihak kepolisian, dikonfirmasi dalam pemeriksaan karena dugaan melanggar Pasal 212 KUHP.***