Bahkan kata dia, tingkat likuiditas semakin hari semakin tersedot secara berangsur-angsur.
"Sebetulnya sudah sangat kritis, terutama akibat hutang yang sangat besar itu bagaikan gali lobang tapi nutup jurang. Likuiditas itu disedot, misalnya peredaran uang tahun lalu malah berkurang minus tiga persen, bulan ini di bawah satu persen. Biasanya normalnya 15 persen," katanya.
Rizal Ramli menyebut, likuiditas saat ini semakin tersedot karena adanya pembelian surat utang negara (SUN) yang memiliki risiko nol dan dijamin oleh negara.
Namun di sisi lain, selisih cost of money dari perbankan dengan bunga pinjamannya justru memiliki risiko yang sangat besar.
"Uang itu kesedot dibelikan surat utang negara (SUN). Kenapa? Yield-nya surat utang ini 6,5 persen, risikonya nol karena dijamin oleh negara. Sementara bank dengan selisih cost of money dia dengan bunga pinjaman sekitar tiga persen, risikonya besar," ujar dia.
Akibat hal tersebut, Rizal Ramli menyebut likuiditas di kalangan rakyat terus tersedot secara berangsur-angsur, apalagi banyak masyarakat menengah ke bawah yang tidak banyak memiliki uang tunai.
Konsekuensinya, rakyat harus menggadaikan sejumlah aset berharga mereka demi memperoleh uang, namun kemungkinan memperoleh uang demi mengembalikan aset tersebut nyaris kecil.
"Tetapi akibatnya, disedot likuiditas di kalangan rakyat kita. Banyak golongan menengah dan menengah bawah punya aset tapi nggak punya uang cash. Sehingga yang terjadi, mereka betul-betul perlu uang cash sehingga rumahnya itu digadaiin. Praktiknya, kemungkinan punya uang lagi itu nyaris kecil karena kebijakan ekonomi kita ini nggak mungkin sembuh," tuturnya.***