PBB Serukan Penghentian Pasokan Senjata ke Myanmar dan Mendesak Junta Militer Bebaskan Aung San Suu Kyi

19 Juni 2021, 13:35 WIB
Ilustrasi logo atau lambang PBB sebagai tempat berkumpulnya negara-negara di dunia saling kerjasama dan mendukung beberapa kebijakan/ //psc631798/pixabay

KABAR BESUKI – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat, 18 Juni 2021 menyerukan penghentian aliran senjata ke Myanmar dan mendesak militer untuk menghormati hasil pemilihan November dan membebaskan tahanan politik, termasuk sang pemimpin Aung San Suu Kyi.

Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi dengan dukungan 119 negara beberapa bulan setelah militer menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi dalam kudeta 1 Februari.

Dalam rapat koordinasi yang dilakukan PBB itu, Belarus meminta agar kebijakan yang diajukan oleh Majelis Umum tersebut divoting. Hasil dari voting tersebut terdapat 36 abstain (tidak memilih voting), termasuk China dan Rusia.

Baca Juga: Prediksi Portugal vs Jerman Euro 2020, Jerman Unggul dalam Head to Head Pertemuan Terakhir

"Risiko perang saudara skala besar adalah nyata," ujar Christine Schraner Burgener, utusan khusus PBB untuk Myanmar, yang sebagaimana dikutip Kabar Besuki dari Reuters, Sabtu, 19 Juni 2021.

"Waktu sangat penting. Kesempatan untuk membalikkan serta pengambilalihan militer semakin menyempit," sambungnya.

Beberapa negara yang abstain mengatakan krisis adalah masalah internal Myanmar, yang lain tidak berpikir resolusi itu akan membantu, sedangkan beberapa negara mengeluh hal itu tidak cukup mengatasi penderitaan Muslim Rohingya sekitar empat tahun setelah tindakan keras militer memaksa hampir satu juta orang untuk melarikan diri dari Myanmar.

Baca Juga: 3 Hal Sepele Tapi Bahaya Banget saat Tidak Dilakukan Semestinya, Salah Satunya Minum Sambil Berdiri

Sementara itu, Duta Besar PBB Uni Eropa Olof Skoog mengatakan resolusi PBB merupakan pesan yang mendalam.

 "Ini mendelegitimasi junta militer, mengutuk penyalahgunaan dan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri dan menunjukkan isolasi di mata dunia,” kata Olof Skoog.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah mendorong Majelis Umum untuk bertindak agar kedamaian di Myanmar segera tercipta.

"Kita tidak bisa hidup di dunia di mana kudeta militer menjadi norma. Ini sama sekali tidak dapat diterima," papar Antonio Guterres.

Baca Juga: Pemerintah Lakukan Perubahan Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2021, Berikut Daftar Lengkapnya

Seperti yang diketahui, militer melakukan penolakan kepada pemerintah untuk mengatasi permasalahan yang terjadi di Myanmar dan mengatakan pemilu yang diadakan oleh pemerintah tersebut terjadi kecurangan dan penipuan dalam pemilihan November.

Sehingga menjadi alasan pihak junta militer melakukan kudeta.  Namun menurut pengamat internasional mengatakan pemungutan suara tersebut sudah adil.

Sebagai informasi, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik pasukan junta telah membunuh lebih dari 860 orang sejak kudeta. Namun hal itu disangkal oleh pihak Junta militer, ia mengatakan jumlahnya jauh lebih rendah.

Resolusi PBB menyerukan militer Myanmar untuk segera menghentikan semua kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai dan mengakhiri pembatasan di internet dan media sosial.

Baca Juga: 3 Dosa Mertua Paling Sering Dilakukan Kepada Menantu, Nomor 2 Selalu Terjadi

Majelis Umum juga meminta Myanmar untuk segera menerapkan konsensus lima poin yang dibuat junta dengan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk menghentikan kekerasan dan memulai dialog dengan lawan-lawannya.

ASEAN telah memimpin upaya diplomatik utama untuk menemukan jalan keluar dari krisis, tetapi terpecah pada Jumat, 18 Juni 2021 atas tindakan PBB.

Beberapa negara ASEAN yakni telah mendukung diplomatik tersebut yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam, dan Duta Besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun. Sedangkan Brunei, Kamboja, Laos, dan Thailand lebih memilih abstain.

Baca Juga: Andi Arief Usul Bebaskan Saja Habib Rizieq: Pak Luhut Bilang Pemimpin Atau Pejabat Tak Menjadi Tauladan

Kyaw Moe Tun mengatakan dia kecewa karena Majelis Umum butuh waktu lama untuk mengambil langkah dan memutuskan resolusi untuk mempermudah menyelesaikan permasalahan di Myanmar tersebut.

“Sangat penting bahwa tidak ada negara yang mendukung militer,” ungkap Kyaw Moe.***

Editor: Ayu Nida LF

Sumber: REUTERS

Tags

Terkini

Terpopuler