Warga Resah, Abu Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara Picu Kekhawatiran Limbah Berbahaya

- 22 April 2021, 16:16 WIB
Ilustrasi pembakaran batu bara
Ilustrasi pembakaran batu bara /Pixabay/Steve Buissinne/

KABAR BESUKI - Penduduk desa di Kabupaten Suralaya, Provinsi Banten, telah lebih dari 35 tahun tinggal di dekat pembangkit listrik besar berbahan bakar batu bara. 

Pembangkit listrik tenaga batubara Suralaya sangat penting karena memasok listrik tidak hanya ke provinsi Banten tetapi juga ke bagian lain pulau Jawa serta Bali. Ini menghasilkan sekitar 3.750 TWh listrik per tahun.

Selain listrik, ia juga menghasilkan asap hitam yang terlihat bahkan di hari mendung.

Asap dari pembangkit listrik tenaga batu bara yang hingga saat ini tergolong limbah B3 sudah lama diduga menjadi penyebab utama gangguan kesehatan.

Baca Juga: SE Larangan Mudik Lebaran Kali Ini Geser Tanggal Hingga 24 Mei 2021, Simak Syarat dan Ketentuannya

Pada Februari lalu, Presiden Joko Widodo menandatangani peraturan yang menghapus fly ash dan bottom ash dari pembangkit listrik, yang sering disebut limbah batu bara, dari daftar limbah berbahaya.

Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun yang bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan ada alasan yang kuat untuk keputusan kebijakan baru-baru ini. 

Dia menjelaskan, pemerintah menghapus fly ash dan bottom ash sebagai limbah berbahaya karena pembangkit listrik tenaga batu bara menggunakan suhu setinggi 800 derajat Celcius yang mengarah pada pembakaran sempurna.

Baca Juga: Berkat Totalitas dan Kerja Kerasnya, Amanda Manopo Meraih Penghargaan 'Indonesia Beautiful Women 2021 Awards'

Oleh karena itu, abu tidak menunjukkan karakteristik limbah berbahaya seperti mudah terbakar, mudah meledak, reaktif terhadap sianida dan sulfida atau korosif.

Ratnawati mengatakan, pihak berwenang telah menilai abu terbang dan limbah dasar dari 19 pembangkit listrik tenaga batu bara. Tidak ditemukan parameter yang melebihi nilai referensi toksisitas sebagaimana diatur dalam peraturan menteri ketenagakerjaan tahun 2018.

“Meski dinyatakan sebagai limbah non B3, namun produsen limbah non B3 tetap memiliki kewajiban untuk memenuhi standar dan persyaratan teknis yang ditetapkan dan tertuang dalam persetujuan dokumen lingkungan,” tandasnya, dilansir Kabar Besuki dari laman Channel News Asia.

Baca Juga: DPR Meminta TNI untuk Segera Menganalisa Penyebab Hilangnya Kontak dengan KRI Nanggala-402

Dia menambahkan, fly ash dan bottom ash nantinya dapat digunakan sebagai bahan bangunan untuk substitusi semen, jalan, dan tambang bawah tanah.

Senada dengan hal tersebut, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ridwan Jamaludin mengatakan ke depan fly ash dan bottom ash akan diubah menjadi produk yang ramah lingkungan.

“Kami melihatnya sebagai perubahan tata kelola, bukan hanya perubahan dari limbah B3, tapi yang kami lihat adalah apa yang bisa dimanfaatkan,” kata Jamaludin. 

Peraturan tersebut merupakan turunan dari omnibus law negara yang disahkan tahun lalu, dimaksudkan untuk menciptakan lapangan kerja dan investasi baru. 

Baca Juga: Sering Pusing Saat Berdiri Mendadak? Hati-hati Kenali Gejala Ini Agar tak Berakibat Fatal

Tindakan tersebut memicu kemarahan di kalangan pemerhati lingkungan yang telah lama berargumen bahwa pembangkit listrik tenaga batu bara merusak lingkungan serta kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. 

Namun, pihak berwenang mengatakan abu tersebut tidak menunjukkan karakteristik berbahaya, sementara undang-undang masih ada untuk mengatur bagaimana limbah tersebut harus ditangani.

Direktur Jenderal Kelistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Rida Mulyana mengatakan negara lain juga tidak mengklasifikasikan fly ash dan bottom ash sebagai bahan berbahaya. 

Ini termasuk Australia, Kanada, Jepang, Rusia, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat. Tujuan utama di mana Indonesia mengekspor batubaranya, termasuk China, India dan Korea Selatan juga tidak menganggap abu seperti itu berbahaya, katanya.

Baca Juga: Proses Pencarian Kapal KRI Nanggala 402, Indonesia Dapat Bantuan Tim Penyelamat dari Negara Tetangga

Indonesia merupakan penghasil batu bara terbesar dunia dan lebih dari separuh energinya dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga batu bara yang mengeluarkan karbon dioksida dan diyakini sebagai sumber gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim. 

Meskipun Indonesia telah meratifikasi perjanjian Paris tentang perubahan iklim dan berjanji untuk mengurangi setidaknya 29 persen emisi karbonnya pada tahun 2030, pemerintah mengatakan bauran energinya masih akan bergantung pada batu bara dalam beberapa tahun ke depan.***

Editor: Ayu Nida LF

Sumber: Channel New Asia


Tags

Terkini