KABAR BESUKI - Israel mengutuk pemilihan Ebrahim Raisi sebagai presiden Iran, dengan mengatakan bahwa dia akan menjadi "rezim penggantung brutal" yang dengannya kekuatan dunia tidak boleh merundingkan kesepakatan nuklir baru pada Minggu 20 Juni 2021.
Ebrahim Raisi, yang berada di bawah sanksi AS karena pelanggaran hak asasi manusia, memperoleh kemenangan seperti yang diharapkan pada hari Sabtu 19 Juni 2021 dalam pemilihan presiden Iran setelah kontes yang ditandai oleh apatis pemilih atas kesulitan ekonomi dan pembatasan politik.
Perdana Menteri Israel Naftali Bennett, yang mengadakan konfersi pers kabinet di televisi pertamanya sejak menjabat pekan lalu, menggambarkan kenaikan Ebrahim Raisi sebagai dimungkinkan oleh Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei daripada oleh suara bebas dan transparan.
"Pemilihan Ebrahim Raisi, menurut saya, adalah kesempatan terakhir bagi kekuatan dunia untuk bangkit sebelum kembali ke perjanjian nuklir, dan memahami dengan siapa mereka berbisnis," kata Naftali Bennett sebagaimana dilansir Kabar Besuki dari Reuters.
Naftali Bennet juga mengecam dan secara tegas melarang Presiden baru Iran yang disebut rezim algojo tidak boleh memiliki senjata pemusnah massal (nuklir).
"Rezim algojo brutal tidak boleh diizinkan memiliki senjata pemusnah massal. Posisi Israel tidak akan berubah dalam hal ini,” kata Naftali Bennett.
Ebrahim Raisi tidak pernah secara terbuka membahas tuduhan seputar perannya dalam apa yang oleh Washington dan kelompok hak asasi manusia disebut sebagai eksekusi di luar hukum terhadap ribuan tahanan politik pada tahun 1988.