Natuna Dikelilingi Kapal Asing, China dan Indonesia Berencana Lakukan Diplomasi untuk Cegah Perang

- 5 Mei 2022, 15:53 WIB
Ilustrasi Kapal Asing kelilingi Kepulauan Natuna, dan membuat nelayan susah menangkap ikan.
Ilustrasi Kapal Asing kelilingi Kepulauan Natuna, dan membuat nelayan susah menangkap ikan. /Pexels/

KABAR BESUKI - Ketegangan dengan China membuat Indonesia meningkatkan pertahanan di sekitar Kepulauan Natuna.

Mempunyai resiko yang sangat tinggi setiap kali nelayan Natuna melaut, ombak bisa mencapai hingga delapan meter selama musim hujan.
 
Tapi bagi nelayan, laut adalah kehidupan mereka menyukai laut.
 
Menurut salah seorang nelayan, Indra, dia mengatakan bahwa di Natuna ikan masih melimpah, tetapi jika banyak kapal memasuki perairan, para nelayan sulit menangkap ikan, dan apa yang akan mereka makan jika kapal-kapal bebas berada di perairan.
 
"Ikan masih melimpah di Natuna, tapi jika kapal-kapal itu terus masuk di perairan, kita akan sulit menangkap ikan. Bagaimana nasib anak cucu kita? apa yang mereka makan jika kapal-kapal berkeliaran bebas di Natuna," katanya.
 
Daerah penangkapan ikan penduduk pulau Natuna termasuk dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) 200 mil laut Indonesia.
 
Tetapi juga tumpang tindih dengan sembilan garis putus-putus China yang mengklaim sebagian besar laut China Selatan.
 
Tumpang tindih klaim ini telah menimbulkan ketegangan, meskipun Pengadilan Arbitrase Permanen pada 2019 menemukan sembilan garis putus-putus tidak memiliki dasar hukum dalam kasus Filipina.
 
Pada 2017, Indonesia menamai perairan di utara pulau itu sebagai Laut Natuna Utara untuk melawan ambisi teritorial China.
 
"Meskipun Indonesia bukan penuntut dalam sengketa Laut China Selatan antara China dan beberapa negara Asia Tenggara, Indonesia telah dengan cepat mengeraskan Natuna dengan instalasi militer," kata Ridzwan Rahmat, analisis pertahanan utama di penerbit militer Janes.
 
Termasuk fasilitas pembangunan kapal selam, dermaga yang dapat menampung kapal perang lebih besar seperti kapal serbu amfibi dan firegat. 
 
Pangkalan untuk pesawat militer seperti helikopter Apache dan Sukhoi.
 
"Selama lima tahun terakhir, saya belum pernah melihat sebuah pulau di Asia Tenggara yang demiliterisasi secepat di Kepulauan Natuna," kata Ridzwan.
 
Dilansir Kabar Besuki dari CNA News, "hal diatas adalah tanggapan Indonesia terhadap pengerahan aset besar dan aset militer dalam menjaga pantai dari China ke perairan yang di klaim oleh Jakarta sebagai bagian dari ZEE-nya," lanjutnya.
 
Tahun lalu ketegangan memanas ketika China dilaporkan meminta Indonesia untuk menghentikan pengeboran minyak dan gas alam di rig lepas pantai sementara.
 
Jawaban Indonesia, menurut anggota parlemen Indonesia adalah mereka tidak akan menghentikan pengeboran kecuali karena ada hak berdaulat.
 
Kedua negara merahasiakan kejadian itu dan melaporkan empat bulan berikutnya, kapal-kapal China dan Indonesia saling membayangi di sekitar ladang minyak dan gas.
 
Diplomasi dan kerjasama juga merupakan jalan ke depan untuk menyelesaikan sengketa Natuna, mengutip para analis, "opsi yang dilihat kedua negara sekarang adalah bagaimana mengelola pergerakan di atas perairan melalui kerjasama," kata Achmad Sukarsono, direktur asosiasi dan analisis utama untuk Indonesia di konsultan Control Risks.
 
Proyek-proyek yang didanai China termasuk kereta api kecepatan tinggi yang menghubungkan Jakarta dan Bandung di Jawa Barat diharapkan akan selesai tahun depan.
 
Menurut Allan Tandiono, direktur manajemen proyek dan pengembangan bisnis di PT Kereta Cepat Indonesia China, proyek ini adalah proyek yang sangat penting dan merupakan hasil patungan antara perusahaan kereta api Indonesia dan China.
 
"Hal ini penting untuk membuktikan kepada dunia bahwa, China dan Indonesia dapat berkolaborasi dengan baik untuk membangun infrastruktur, fasilitas umum yang dapat membawa manfaat ekonomi bagi Indonesia, China, dan masyarakat," katanya.
 
Achmad mengatakan, perluasan pengembangan bersama sumber daya laut dalam tanpa mempermasalahkan garis perbatasan, akan membuat Indonesia masih jauh dari kata aktif dalam mengembangkan deposit gas Natuna dan Indonesia membutuhkan teknologi yang lebih baik untuk mendeteksi induk hidrokarbon.
 
Victor Gao, wakil presiden Center for China dan Globalization berbasis di Beijing, setuju bahwa "dalam segala jenis sengketa teritorial, diplomasi adalah pilihan terbaik, dan perang adalah pilihan terakhirnya," katanya.
 
Perang mudah untuk diluncurkan tetapi sangat sulit untuk diakhiri. Dan perlu adanya pertimbangan situasi tidak hanya untuk generasi sekarang tetapi untuk generasi yang akan datang.***

Editor: Ayu Nida LF


Tags

Terkait

Terkini

x