KABAR BESUKI - Baru-baru ini telah terjadi pelecehan seksual dan pembullyan oleh 8 orang pegawai KPI, dan diketahui, (MS) korban juga karyawan KPI.
Kabarnya pelecehan seksual ini dilakukan beramai-ramai di KPI pusat. Pelaku dan korban adalah sesama pria.
Laporan korban sempat tak ditanggapi oleh pihak-pihak berwajib, melihat hal ini terjadi korban sempat minta tolong pada pak Jokowi.
Akhirnya kasus ini menjadi viral, MS juga sempat mengatakan, "Tolong pak Jokowi, saya tak kuat dirundung dan dilecehkan di KPI, saya trauma buah Zakar dicoret-coret spidol oleh mereka," ujar MS.
MS mengaku bahwa ia sudah tak kuat karena sudah dirundung dan dilecehkan oleh beberapa pelaku. MS juga mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mencari nafkah di KPI pusat.
"Yang terhormat Presiden Joko Widodo, saya seorang pria berinisial MS, hanya ingin mencari nafkah dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI Pusat), saya hanya ingin bekerja dengan benar, menunaikan tugas dari pimpinan, lalu menerima gaji sebagai hak saya, dan membeli susu bagi anak semata wayang saya," jelas MS.
"Sepanjang 2012-2014, selama 2 tahun saya dibully dan dipaksa untuk membelikan makan bagi rekan kerja senior. Mereka bersama-sama mengintimidasi yang membuat saya tak berdaya," tambahnya.
Sudah selama 2 tahun korban dipaksa untuk membelikan makan para senior, lalu mereka mengintimidasi sehingga membuat korban tak berdaya.
"Padahal kedudukan kami setara dan bukan tugas saya untuk melayani rekan kerja, tapi mereka secara bersama-sama merendahkan dan menindas saya layaknya budak pesuruh," ungkap MS.
MS merasa para pelaku merendahkan dan menindasnya seperti budak pesuruh, padahal kedudukan mereka setara.
"Sejak awal saya kerja di KPI Pusat pada tahun 2011, sudah tak terhitung berapa kali mereka melecehkan, memukul, memaki dan merundung tanpa bisa saya lawan," ujar MS.
Para pelaku sudah melakukan pelecehan mulai MS masuk kerja, dan para pelaku tersebut sudah melakukan pelecehan, pemukulan, memaki dan sudah merundung korban. Korban juga mengaku tidak bisa melawan.
"Saya sendiri dan mereka banyak. Perendahan martabat saya dilakukan terus-menerus dan berulang-ulang sehingga saya tertekan dan hancur pelan-pelan," tutupnya.
MS mengaku tak bisa melawan karena ia sendirian dan korban ada beberapa orang. Hal ini sudah dilakukan tersangka berulang-ulang sehingga membuat korban tertekan dan hancur.
MS sudah mengadu pada Komnas HAM sejak tahun 2017, dan saat itu Komnas HAM merekomendasikan MS untuk melaporkan ke polisi. Karena perundungan tersebut sudah dikategorikan tindak kriminal.
Lalu MS melaporkan apa yang di alaminya ke Polsek Gambir, Jakarta Pusat, namun polisi tak berbuat apa-apa.
Dan saat sudah disana, polisi menyarankan MS untuk melaporkan kejadian tersebut ke atasannya.
Ms mengatakan bahwa dirinya ingin menyelesaikan masalahnya lewat jalur hukum, namun mengapa penderitaannya diremehkan.
"Saya ingin penyelesaian hukum, makanya saya lapor ke polisi. Tapi kenapa laporan saya tidak di BAP? kenapa pelaku tidak diperiksa? Kenapa penderitaan saya diremehkan?," jelas MS.
Setelah curhatan MS menjadi viral, KPI pusat akhirnya melakukan tindakan, Ketua KPI Pusat, Agung Suprio mengatakan, "Melakukan langkah-langkah investigasi internal, dengan meminta penjelasan kepada kedua belah pihak. Mendukung aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti kasus tersebut sesuai ketentuan yang berlaku. Memberikan perlindungan, pendampingan hukum dan pemulihan secara psikologi terhadap korban," Ujar Agung.
Kasus ini sempat lama ditanggapi oleh KPI, Komnas HAM, bahkan kepolisian akhirnya kasus ini mendapat titik terang.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan, "Seperti Komnas HAM, KPI, dan lembaga negara, lainnya. untuk menyediakan mekanisme (ruang) pengaduan atas keluhan di internal mereka sendiri. Saya kira, masing-masing pekerja punya hak atas rasa aman, terus kemudian hak atas lingkungan kerja yang sehat," kata Beka.
"Ini soal bagaimana menghormati harkat, dan martabat manusia," tutup Beka.
Najwa Shihab juga memberikan komentarnya, bahwa kasus yang dialami MS ini seakan mengungkapkan kegagalan berbagai pihak dalam melindungi penyintas kasus kekerasan seksual.
Dan menunjukkan tiadanya mekanisme pengaduan dan konseling dari setiap instansi agar kasus serupa tak kembali terulang.***