Beathor Suryadi juga menilai, sistem politik yang berlaku di Indonesia saat ini sangat memungkinkan konglomerat untuk merampas tanah rakyat, termasuk dalam konteks sengketa di Wadas.
Bahkan, dia menilai bahwa negara telah menjadi milik konglomerat dan dikendalikan oleh konglomerat.
"Sistem politiknya menyebabkan konglomerat itu juga merampas tanah rakyat. Jadi emang negara udah jadi milik mereka," katanya.
Selain itu, dia juga menyebut bahwa sumber konflik terkait sengketa tanah selalu dipicu oleh adanya dua surat atau sertifikat tanah di lokasi yang sama dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
"Surat tanah itu selalu konflik ketika satu lahan tanah ada dua surat (dari BPN), sama dengan STNK (dari kepolisian). Tapi polisi bisa menyelesaikan (sengketa STNK)," ujar dia.
Baca Juga: Ganjar Pranowo Beri Ultimatum Pejabat Tak ‘Bermain-main’ di Desa Wadas: Nggak Usah Mancing-mancing
Beathor Suryadi juga menemukan adanya kejanggalan ketika dua pihak berbeda mendaftarkan tanah di lokasi yang sama dalam Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Ketika hal tersebut terjadi, dia menyoroti bahwa BPN selalu mengutamakan PTSL yang diajukan oleh konglomerat atau pihak-pihak yang bermodal kuat untuk didaftarkan secara legal.
"Di daerah-daerah yang tanahnya dibutuhkan oleh konglomerat, PTSL itu menguntungkan pengusahanya," tuturnya.***