Pro Kontra European Super League, Egoisme Klub Raksasa atau Perlawanan Terhadap UEFA?

20 April 2021, 03:05 WIB
Logo European Super League . /Twitter/@Goal/

KABAR BESUKI – Baru-baru ini dunia sepak bola dihebohkan dengan wacana bergulirnya kompetisi breakaway dari UEFA Champions League (UCL) yakni European Super League (ESL) yang diinisiasi oleh dua belas klub raksasa dari tiga negara berbeda di Eropa.

Klub-klub tersebut antara lain Manchester United, Manchester City, Chelsea, Arsenal, Tottenham Hotspurs, Liverpool, Atletico Madrid, Real Madrid, Barcelona, Juventus, Inter Milan, dan AC Milan.

Mereka tak hanya dikenal sangat kuat di liga domestik masing-masing, akan tetapi mereka juga memiliki basis pendukung atau suporter yang sangat besar di dunia.

Baca Juga: Tahan Imbang PSS Sleman, Persib Bandung Siap Hadapi ‘El Clasico’ Lawan Persija di Final Piala Menpora 2021

Ide untuk menggulirkan ESL sebenarnya sudah ada sejak beberapa tahun lamanya yang diinisiasi oleh Florentino Perez yang merupakan Presiden Real Madrid, salah satu klub terkaya di Spanyol dan dunia.

Perez tak sendirian, ia juga menggandeng Andrea Agnelli (bos Juventus) dan Joel Glazers yang merupakan pemilik dari klub Manchester United.

Wacana untuk menggulirkan ESL ini lantas menuai pro dan kontra dari kalangan pelaku maupun pecinta sepak bola di dunia.

Baca Juga: Dongkrak Ekonomi Negara dari Desa, PC ISNU Banyuwangi Gelar Tadarus Ilmiah

Sebagian kalangan menganggap bahwa ide untuk menggulirkan ESL merupakan “egoisme” yang dilakukan oleh klub-klub raksasa Eropa untuk semakin memperkaya dirinya.

Pembentukan kompetisi “tandingan” yang digagas oleh sejumlah klub raksasa dinilai mencederai nilai-nilai sportivitas.

Atas dasar itulah, UEFA sampai memberikan ultimatum kepada klub-klub yang terlibat dalam project ESL untuk membatalkan keputusannya atau mereka akan disanksi tidak dapat mengikuti kompetisi UEFA maupun domestik.

Baca Juga: Ngantuk Saat Berkendara, Pelajar Tubruk Pemotor Lain dan Alami Patah Tulang

Tak cukup sampai di situ, UEFA dan FIFA juga memberikan ancaman terhadap pemain maupun pelatih yang tergabung dalam klub-klub partisipan ESL berupa larangan memperkuat tim nasional dari negaranya masing-masing.

Selain berpotensi meningkatkan kesenjangan ekonomi antar klub dan mencederai sportivitas, pembentukan ESL juga dinilai menghilangkan drama “underdog stories” yang tidak jarang mampu memberikan kejutan terhadap tim-tim raksasa dalam pertandingan penting.

Dengan kata lain, kompetisi resmi UEFA maupun domestik dari negara-negara di bawah naungannya akan kehilangan atmosfernya sekaligus berpotensi mengalami kerugian dari sisi pendapatan hak siar (nilai jual) dan popularitas di mata dunia.

Baca Juga: Bikin Baper dan Gemas, Inilah 4 Bukti Perlakuan Posesif Aldebaran 'Ikatan Cinta' Kepada Andin

Sehingga, bukan tidak mungkin beberapa korporasi media di dunia termasuk Indonesia akan berpikir untuk beralih ke ESL sebagai salah satu daya jual mereka terhadap pemirsa atau pelanggan.

Meski demikian, beberapa klub yang menggagas lahirnya ESL sesungguhnya juga memiliki berbagai pertimbangan yang cukup kuat, namun di sisi lain mereka juga tetap ingin berkompetisi secara resmi di level domestik maupun UEFA.

Salah satu isu yang mencuat adalah pembagian revenue yang tidak adil antara UEFA dan klub peserta Liga Champions maupun Europa League sehingga terasa begitu memberatkan pihak klub yang dituntut untuk selalu menjaga kesejahteraan para pemainnya.

Klub-klub penggagas ESL beranggapan bahwa selama ini mereka hanya dijadikan “sapi perah” UEFA seiring dengan padatnya kalender kompetisi yang harus dijalani klub maupun pemain di dalamnya.

Baca Juga: Hadir di Indonesia, Instagram Lite Berikan Konten Ramadhan Serta Tawarkan Versi Hemat Kuota Internet

Sebagian petinggi klub pendiri ESL mengeluh terhadap adanya dugaan korupsi yang disinyalir terjadi dalam internal UEFA sehingga menyebabkan pundi-pundi uang yang harusnya mereka peroleh ketika bertanding di ajang UCL maupun UEL.

Mereka beranggapan, UEFA tidak transparan mengenai pembagian hasil dari pendapatan hak siar kepada klub-klub peserta UCL maupun UEL karena uang yang mereka terima tak sebanding dengan pengeluaran dan effort yang mereka kerahkan.

Belum lagi, UEFA justru menambah kalender kompetisi mereka dengan adanya UEFA Nations League (UNL) sejak 2018 dan nantinya UEFA Europa Conference League (UECL) yang rencananya akan digulirkan sejak musim 2021-22 mendatang.

Kompetisi tersebut dinilai tak lebih dari sekedar upaya UEFA untuk meningkatkan pundi-pundi uang dari pendapatan hak siar, meski penonton akan semakin dimanjakan dengan banyaknya jadwal siaran langsung di televisi atau layanan streaming.

Baca Juga: Bank Indonesia Jember: Masyarakat Sudah Bisa Tukar Uang Pecahan Rp75 ribu untuk THR Lebaran

Baca Juga: Sangat Mudah dan Tidak Merepotkan, Sejumah 9 Tanaman Hias Ini Bisa Bertahan Bahkan di Tempat Gelap

Bahkan, adanya kompetisi UEFA Nations League juga kerap dikeluhkan beberapa pelatih klub karena dianggap sering menjadi penyebab beberapa pemain andalannya mengalami cedera menjelang pertandingan penting di ajang domestik maupun UCL atau UEL.

Sehingga, upaya dua belas klub elit Eropa untuk menggelar ESL dianggap sebagai bentuk “perlawanan” terhadap arogansi UEFA yang dinilai hanya memikirkan aspek bisnisnya dengan mengabaikan kepentingan klub dan pemain.

Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda termasuk yang setuju atau menolak dengan wacana bergulirnya ESL? Jawaban ada di tangan Anda masing-masing.***

Editor: Ayu Nida LF

Sumber: UEFA FIFA

Tags

Terkini

Terpopuler