Marginalisasi Terhadap Orang Asing dan Kaum LGBT Dinilai Nodai Citra Korea Selatan di Dunia Internasional

- 31 Maret 2021, 06:00 WIB
Ilustrasi Stop Diskriminasi. /PIXABAY/mmi9
Ilustrasi Stop Diskriminasi. /PIXABAY/mmi9 //Rizqie Arie/

KABAR BESUKI – Korea Selatan yang merupakan negara maju dalam hal demokrasi dengan jaminan kebebasan sipil dan berpolitik umumnya menawarkan perlindungan hak asasi manusia yang fundamental.

Akan tetapi, diskriminasi terhadap kelompok-kelompok marjinal seperti minoritas seksual, orang asing, perempuan, dan penyandang cacat justru berpotensi mencoreng citra negeri yang dikenal karena industri hiburannya yang sukses besar melalui K-Pop, K-Drama, dan K-Movies.

Aktivis hak asasi manusia di dalam dan luar Korea Selatan telah mengkritik pemerintah yang kurang menunjukkan upaya untuk menangani serangkaian masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang menyerang kaum minoritas di Negeri Ginseng akhir-akhir ini.

 Baca Juga: Kontrol Kemudi Rusak, Lion Air Rute Surabaya-Banjarmasin Putar Balik Usai Terbang 20 menit

Diskriminasi Terhadap Perintah Wajib Tes COVID-19 untuk Warga Negara Asing

Pemerintah Provinsi Gyeonggi mewajibkan adanya tes COVID-19 untuk seluruh pekerja asing yang berada di wilayahnya dimulai sejak 8 Maret 2021 lalu.

Kemudian, pemerintah daerah di beberapa wilayah lainnya seperti Seoul, Daegu, dan Gwangju serta Provinsi Gyeongsang Utara, Jeolla Selatan, dan Gangwon juga turut mengikuti langkah tersebut.

Meski pihak berwenang menyatakan perintah tersebut diberlakukan dalam rangka pencegahan terhadap infeksi cluster lingkungan kerja dengan pekerja migran, pemerintah dinilai gagal meyakinkan publik dengan sejumlah alasan epidemologis memberlakukan denda hingga 2 juta won untuk pelanggarnya.

 Baca Juga: Jelang Ramadhan 1442 H Ditengah Pandemi COVID-19, Stok Pangan di Jakarta Diprediksi Tetap Melimpah

Tatanan “top-down” yang diberlakukan dalam negara lantas menuai kritik dari berbagai pihak termasuk dari kalangan diplomatik serta kamar dagang dan bisnis internasional serta Komisi Hak Asasi Manusia Nasional Korea (NHRCK).

Mereka menilai, tindakan tersebut merupakan bentuk perilaku diskriminatif yang dilakukan oleh pemerintah terhadap warga negara asing yang tinggal di Korea Selatan khususnya pada wilayah-wilayah tersebut.

Karena menuai kritikan, Pemerintah Kota Seoul akhirnya mencabut regulasi tersebut yang dinilai diskriminatif, akan tetapi pemerintah daerah lainnya termasuk Provinsi Gyeonggi memilih untuk terus mempertahankan regulasi itu.

 Baca Juga: Bupati Sumenep Ajak Para OPD untuk Kreatif, Inovatif dan Cepat dalam Menyongsong Pembangunan Daerah

Steve Hamilton, kepala misi Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) di Korea Selatan menyebut bahwa peraturan pemerintah daerah tersebut merupakan regulasi yang sangat diskriminatif dan sangat berpotensi melanggar hak asasi manusia.

“Sangat bias dan memberikan kesan palsu kepada publik bahwa orang asing (sebagai sebuah kelompok) menyebarkan COVID-19,” kata Steve sebagaimana dilansir Kabar Besuki dari Korea Times.

Steve juga mengungkapkan, adanya batasan perjalanan internasional yang diberlakukan beberapa negara merupakan salah satu alasan pekerja asing memilih untuk tetap bertahan di Korea Selatan sampai situasinya benar-benar kondusif.

“Mengingat batasan perjalanan internasional yang diberlakukan sejak awal tahun lalu, sebagian besar migran di sini telah berada di negara itu sepanjang waktu,” ujarnya.

 Baca Juga: ‘Pembelajaran Tatap Muka Terbatas’ Berbeda dengan Sekolah Normal Biasanya, Simak Penjelasannya

“Jadi, penularan dalam kelompok ini sebagian besar terdiri dari penularan domestik di antara orang-orang yang telah berbaur dengan warga negara Korea,” tutur dia.

Tewasnya Tiga Orang Waria Mengindikasikan Marginalisasi Seksual dan Gender Minoritas

Tiga orang anggota komunitas anggota LGBTQ yang lantang bersuara di tengah masyarakat Korea Selatan, di mana diskriminasi terhadap orientasi seksual dan identitas gender lazim terjadi telah meninggal dunia dalam dua bulan terakhir.

Lee Eun Yong, penulis skenario yang merupakan tokoh dari kalangan transgender ditemukan tewas pada 8 Februari 2021 lalu.

Begitu juga dengan Kim Gi Hong, mantan politisi transgender pemimpin komunitas queer di Jeju yang ditemukan tewas pada 24 Februari 2021.

 Baca Juga: Berdasarkan Astrologi, Inilah Deretan Zodiak yang Dikenal Paling Malas dan Suka Menunda Pekerjaan

Tidak hanya itu, Byun Hee Soo yang merupakan seorang mantan tentara karena diberhentikan secara paksa setelah menerima operasi pergantian jenis kelamin ditemukan tewas di rumahnya pada 3 Maret 2021 lalu.

Aktivis hak asasi manusia menekankan bahwa kematian mereka menunjukkan bagaimana minoritas seksual dikecualikan dari perlindungan sipil dari kebencian dan diskriminasi yang meluas terhadap mereka di masyarakat Korea Selatan.

Mereka menuntut pembentukan undang-undang anti-diskriminasi, sebuah inisiatif yang terhenti di Majelis Nasional serta di masyarakat Korea Selatan selama lebih dari 20 tahun.

 Baca Juga: Bupati Sumenep Ajak Para OPD untuk Kreatif, Inovatif dan Cepat dalam Menyongsong Pembangunan Daerah

Hong Sung Soo, seorang profesor hukum di Sookmyung Women's University mengungkapkan bahwa kurangnya upaya pemerintah untuk mencegah diskriminasi terhadap minoritas seksual di Korea telah membuat masalah ini sama sekali tidak terselesaikan.

“Minoritas seksual tidak pernah secara resmi diakui sebagai kelompok yang terlihat oleh pembuat kebijakan,” kata Hong Sung Soo.

“Sensus tidak pernah memasukkan mereka ke dalam sistem survei, dan otoritas penegak hukum tidak secara terpisah mengumpulkan statistik tentang kejahatan terhadap komunitas LGBTQ,” ujarnya.

Hong Sung Soo berharap adanya undang-undang anti diskriminasi untuk menghentikan segala bentuk diskriminasi yang kerap terjadi di Negeri Ginseng selama ini, agar tidak terjadi konflik sosial yang berkepanjangan.

 Baca Juga: Setelah Kimchi, China Kembali Klaim Makanan Korea Selatan Kali ini Samgyetang 'Sup Ayam Ginseng'

“Jika kebencian dan diskriminasi yang meluas terhadap minoritas seksual terus berlanjut, maka akan berkembang menjadi konflik sosial yang serius. Undang-undang anti diskriminasi adalah tindakan pencegahan dasar untuk menjamin masyarakat yang aman dan damai bagi semua,” tuturnya.***

Editor: Ayu Nida LF

Sumber: Korea Times


Tags

Terkini