“Kita bisa mengacu pada narkotika lain seperti morfin. Morfin itu kan obat, bisa diresepkan untuk nyeri kanker yang berat. Tapi, opiumnya, tanaman penghasilnya, tetap masuk golongan I karena potensi penyalahgunaannya besar. Ganja juga seperti itu. Kalau ganja masuk golongan II misalnya dan dibolehkan, akan ada banyak penumpang gelapnya. Karena berapa persen sih, orang yang benar-benar membutuhkan ganja untuk medis? Nanti akan susah lagi untuk mengaturnya,” tutur Zullies Ikawati.
Menurut Zullies Ikawati, zat yang bisa dilegalkan adalah senyawa yang berasal dari ganja seperti cannabidiol, bukan tanamannya.
Pasalnya, senyawa tersebut tidak bersifat psikoaktif dan dapat digunakan sebagai obat berdasarkan uji klinis yang telah dilakukan.
"Maka, (cannabidiol) bisa masuk ke dalam golongan II bahkan III karena tidak berpotensi untuk disalahgunakan, mengingat sifatnya yang tidak psikoaktif. Kita juga tidak bisa menggunakan regulasi seperti obat herbal. Meski ini seperti obat herbal, sama-sama dari tanaman, tapi tidak bisa begitu, karena (tanamannya) mengandung senyawa yang memabukkan," tutur Zullies Ikawati.
Namun menurut Zullies Ikawati, proses legalisasi senyawa turunan ganja ini harus mengikuti aturan pengembangan obat menggunakan data uji klinis terkait.
Selain itu, lanjutnya, koordinasi semua pihak yang terkait yakni DPR, Kementerian Kesehatan, Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) diperlukan untuk mengatur pengembangan dan penggunaan obat-obatan yang berasal dari ganja.***