Hal serupa juga dilakukan Thailand untuk Piala Dunia, Olimpiade, dan Asian Games, di mana negosiasi langsung dengan rights holder hanya boleh dilakukan oleh NBT selaku LPP di Thailand.
Setelah hak siar diperoleh NBT, barulah pihak swasta seperti PPTV, BBTV, dan lain-lain mengajukan kerja sama dengan NBT agar bisa turut serta menyiarkan Piala Dunia, Olimpiade, dan Asian Games.
Truevisions yang merupakan penguasa tunggal industri TV berbayar di Thailand juga diperbolehkan berpartisipasi dalam penyiaran Piala Dunia, Olimpiade, dan Asian Games jika NBT sudah memperoleh kesepakatan dengan rights holder.
Kebijakan Thailand untuk memberlakukan peraturan tersebut didasari oleh banyaknya masyarakat setempat yang tak sanggup untuk membayar biaya berlangganan demi menyaksikan Piala Dunia, Olimpiade, dan Asian Games.
Namun dalam praktiknya, kebijakan 'must have' untuk Piala Dunia, Olimpiade, dan Asian Games juga menimbulkan masalah baru ketika rights holder mematok harga yang sangat mahal, terutama pada Piala Dunia 2018 dan 2022.
Pada Piala Dunia 2018, NBT baru mencapai kata sepakat hanya dalam waktu beberapa hari sebelum kick-off laga perdana karena faktor harga yang dipatok oleh Infront, international rights holder yang ditunjuk oleh FIFA.
Untuk Piala Dunia 2022, hingga saat ini belum ada kesepakatan antara NBT dengan Infront karena persoalan harga hak siar.
Selain itu, kebijakan 'must have' di Thailand juga dianggap merugikan pemegang hak siar di beberapa negara seperti Singapura dan India yang menerapkan sistem berlangganan seutuhnya untuk penayangan Piala Dunia, karena luberan siaran dari Thailand melalui satelit dianggap memicu praktik pembajakan di negara lainnya.
Terlebih, mayoritas stasiun televisi di Thailand menggunakan enkripsi BISS untuk distribusi point to point antar pemancar terestrial di negaranya dengan menggunakan perantara transponder di satelit.