KABAR BESUKI – Novel Baswedan ikut angkat bicara soal isu Taliban dan perkara dugaan bendera HTI di meja KPK.
Novel Baswedan juga seolah mengugkap orang di balik isu yang kini menjadi kontroversial tersebut.
Berawal dari kontroversi bendera organisasi radikal dan terlarang ini, berawal dari beredarnya surat terbuka dari seorang pria bernama Iwan Ismail yang mengaku telah dipecat KPK sekitar 2 tahun lalu.
Baca Juga: Perkara Dugaan Bendera HTI di Meja KPK, Satpam KPK Malah Dipecat: Nggak Tahu Siapa yang Bikin Viral
Satpam KPK yang dipecat karena dugaan bendera HTI, Iwan Ismail, terus melawan narasi yang menyudutkannya.
Dalam rekening yang diberikan oleh mantan pegawai kantor hukum KPK, Tata Khoiriyah, Iwan diadili dan divonis oleh sidang internal KPK.
Berkaitan dengan masalah ini, Novel Baswedan mengatakan bahwa isu radikal yang ditujukan kepada KPK adalah penahanan para koruptor di tanah air.
Dilansir Kabar Besuki dari Twitter @nazaqistsha, hal ini dilakukan agar pencuri uang rakyat bisa leluasa melakukan tindakan korupsi tanpa ketahuan.
“Sejak awal sdh kita sampaikan bahwa isu radikal dsb adl framing para koruptor agar aman berbuat korupsi. Mrk bisa saja bayar org2 utk buat tulisan di medsos. Skrg koruptor semakin aman & terus garong harta negara. Kasihan masy Indonesia. Koruptor makin Jaya,” tulis Novel Baswedan.
Novel Baswedan mengatakan, para koruptor mampu membayar orang di media sosial, sehingga masalah yang sedang berlangsung bisa berjalan sesuai rencana.
Dengan demikian, seperti yang terjadi saat ini, para koruptor akan lebih aman dan mendapatkan uang dari negara.
Baca Juga: Polisi Gagalkan Peredaran Ganja Lintas Daerah, Amankan Ratusan Paket dalam Karung
Tak hanya itu, Novel Baswedan juga menanggapi cuitan milik Febri Diansyah seorang mantan juru bicara KPK, masih dengan hal yang sama.
“Mas @febridiansyah ‘Sulit anda menjelaskan kepada lalat bahwa bunga lebih indah dari sampah’, Kita tentu paham tdk semua org punya motif yg baik, kalo org sdh punya motif tdk baik, dijelaskan apapun akan sia-sia. Apalagi bila ada motif ekonomi, lebih parah,” tulis Novel Baswedan.
Menurutnya, belum tentu bisa dipahami bahwa semua orang memiliki motif yang baik.***