Terdakwa Penyuap Edhy Prabowo Ungkap Pernyataan Terkait Pengakuan Adanya Permintaan 'Fee' Sejumlah Rp 5 Miliar

- 24 Maret 2021, 16:42 WIB
Foto: Ilustrasi KPK
Foto: Ilustrasi KPK /Gisela R//Instagram/official.kpk

KABAR BESUKI - Pemilik sekaligus pengelola PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP), Suharjito, mengaku dimintai jaminan sebesar Rp 5 miliar oleh staf khusus mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

"Saudara Agus bertanya ke anak buah Dirjen Budidaya, lalu Agus diminta bertanya ke stafsus dan di situ letak komitmen yang diminta, kemudian disampaikan ke saya, 'Tolong sampaikan ke Harto ini ada komitmen yang lainnya juga begitu, nilainya Rp5 miliar dan bisa dicicil'," kata Suharjito.

Suharjito menyatakan keterangan tersebut dalam sidang, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu 24 Maret 2021.

Baca Juga: Miris! Anak Usia 7 Tahun Jadi Korban Tertembak Junta Militer, Warga Myanmar Gelar Aksi Protes

Suharjito menghadiri persidangan melalui jalur video conference dari gedung KPK.

Dalam kasus ini, Suharjito dituduh membayar uang suap senilai total 2,146 miliar rupiah, atau 103.000 US $ (sekitar 1,44 miliar rupiah) dan Rp 706.055.440 kepada mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

Dalam surat dakwaan disebutkan bahwa pada Juni 2020, Agus Kurniyawanto, direktur operasional kapal PT DPPP, telah bertemu dengan dua orang staf khusus Kementerian Kelautan dan Perikanan, selain menjadi Ketua dan Wakil Kepala Pembibitan Lobster dan Tim Uji Tuntas Ekspor budaya Andreau Misanta Pribadi dan Safri.

Baca Juga: Bosan Menganggur, Pria Asal Klaten Ini Membuat Kerajinan Aquarium dari Ban Bekas dengan Nilai Jual yang Tinggi

Dalam pertemuan tersebut, Andreau dan Safri mengatakan untuk mendapatkan izin tersebut, PT DPPP harus memberikan komitmen finansial kepada Edhy Prabowo melalui Safri sebesar Rp5 miliar yang bisa diberikan secara bertahap tergantung kemampuan perusahaan.

"Habis itu Agus lapor ke saya, katanya 'Pak sudah ketemu benang merahnya', kata saya 'Apa benang merah apa Gus?' kemudian dijawab 'Komitmen Pak', saya tanya 'Loh kok komitmen?' tapi dijawab lagi 'Yang lainnya juga begitu', ya sudah," kata Suharjito.

Suharjito akhirnya membayar cicilan permintaan ‘fee’ tersebut. "Akhirnya saya membayar komitmen itu 77 ribu dolar AS yang disampaikan Agus. Saya cicil, 77 ribu dolar AS sama dengan Rp1 miliar," kata Suharjito pula.

Baca Juga: Kementerian BUMN Terus Dorong dan Beri Dukungan Untuk Kemajuan Olahraga di Indonesia

Suharjito mengaku, perusahaannya sudah memiliki usaha budidaya udang selama 5 tahun.

Ia pun menyambut baik regulasi yang diterbitkan oleh Edhy Prabowo pada 4 Mei 2020, yakni Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 / PERMEN-KP / 2020 tentang pengelolaan lobster (Panulirus spp), rajungan (Scylla spp) dan Rajungan, (Portunus spp) di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang antara lain berisi perizinan pembudidayaan dan pengeluaran benih lobster bening (BBL).

“Pada Mei 2020 sudah diajukan regulasi untuk izin ekspor dan izin budidaya BBL. Saya berharap saat pengajuan usaha ini bisa berkembang, jadi saya ajukan izin ke Kementerian Kelautan dan Perikanan mulai 4 Mei hingga 18 Juni 2020,” kata Suharjito.

Namun dalam perjalanannya, menurut Suharjito, proses perizinan menemui kendala dan berjalan lambat.

Baca Juga: Tanggapi Aksi Penembakan di Colorado, Joe Biden dan Barack Obama Serukan Perketat Peraturan Tentang Senjata

"Saya minta ke anak buah saya, Agus, 'Coba Gus tanyakan ke staf Dirjen Budi Daya apa masalahnya? Kalau untuk mendapat izin perusahaan sudah berlomba-lomba dan KKP juga paling paham tentang budi daya tapi malah lama," kata Suharjito.

Dalam rapat dengan agenda keterangan ahli hukum pidana di Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir Yogyakarta, Suharjito juga mempertanyakan apakah ini tentang 'suap aktif dan pasif.

"Apakah saya dipandang sebagai pemasok aktif atau pasif. Karena dalam hati saya adalah seorang pengusaha yang ingin bebas dan cepat berkembang," tanya Suharjito.

"Dari perusahaan sudah mengurus proses yang dilakukan, cuma karena tidak terbit-terbit. Begitu staf tanya ternyata harus ada komitmen suap, jadi suap itu bersumber stafsus. Kesimpulannya bahwa yang bertanggung jawab atas pemberian adalah stafsus, bukan pengusaha yang mengurus izin," jawab Mudzakir.

Baca Juga: Mantan Presiden RI Megawati Luncurkan Buku 'Merawat Pertiwi, Jalan Megawati Soekarno putri Melestarikan Alam'

“Pengusaha yang membuat komitmen ini adalah korban dari pegawai, jadi mereka memberikan sesuatu. Dalam hukum pidana itu wajib melindungi korban, atas dasar ini menurut ahli memberi sesuatu adalah pasif dan yang bertanggung jawab adalah staf, oleh karena itu para Majikan dikenai biaya komitmen Rp 5 miliar sehingga pemberian izin menjadi korban penyalahgunaan pegawai, ” kata Mudzakir.

Dalam surat dakwaan, pada 16 Juni 2020, Agus Kurniyawanto di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan menyerahkan uang sebesar US $ 77.000 kepada Safri dengan mengatakan ‘ini titipan buat menteri’.

Safri kemudian memberikan uang tersebut kepada sekretaris pribadi Edhy Prabowo, Amiril Mukminin, untuk diteruskan kepada Edhy Prabowo.

Safri kemudian memerintahkan anggota tim uji tuntas Dalendra Kardina untuk melanjutkan proses izin budidaya BBL PT DPPP.

Kementerian kemudian menerbitkan Izin Ekspor BBL berupa Surat Penetapan Calon Eksportir BBL atas nama PT DPP pada 6 Juli 2020.***

Editor: Surya Eka Aditama

Sumber: ANTARA


Tags

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x