Said Didu Sebut Bisnis PCR di Indonesia Hasilkan Potensi Keuntungan Fantastis Karena Diwajibkan Pemerintah

- 23 Agustus 2021, 11:45 WIB
Said Didu Sebut Bisnis PCR di Indonesia Hasilkan Potensi Keuntungan Fantastis Karena Diwajibkan Pemerintah
Said Didu Sebut Bisnis PCR di Indonesia Hasilkan Potensi Keuntungan Fantastis Karena Diwajibkan Pemerintah /Amanda Caesa/Tangkap Layar YouTube.com/Amanda Caesa

KABAR BESUKI - Pengamat ekonomi Said Didu menyebut bisnis PCR di Indonesia menghasilkan potensi keuntungan fantastis karena diwajibkan pemerintah.

Said Didu tak memungkiri bahwa pandemi Covid-19 telah menciptakan bisnis baru di bidang kesehatan masyarakat dan menciptakan kekayaan fantastis bagi pelakunya.

"Tak bisa dipungkiri bahwa pandemi ini melahirkan pebisnis baru karena memang ini berbisnis yang berkaitan dengan nyawa, jadi bisnis karena terpaksa. Kita mulai awal-awal itu APD, itu mahal sekali dan banyak orang yang kaya raya saat itu, kemudian masuk ke hand sanitizer, kemudian masuk ke masker juga pernah mahal sekali, kemudian muncul vaksin," kata Said Didu sebagaimana dikutip Kabar Besuki dari kanal YouTube Karni Ilyas Club pada Jumat, 20 Agustus 2021.

Baca Juga: Said Didu Sebut Tes PCR Jadi Ladang Bisnis hingga Hasilkan Omzet Rp20 Triliun, Begini Penjelasannya

Said Didu tak pernah menyangka bahwa PCR telah menjadi bisnis 'dadakan' yang tak pernah ada sebelum pandemi melanda dunia.

Dia menyebut bahwa keberhasilan bisnis PCR hingga menjanjikan potensi keuntungan fantastis memerlukan relasi dengan kekuasaan bahkan dapat menciptakan monopoli tersendiri.

"Bisnis yang seperti ini adalah bisnis dadakan. Pelakunya tidak ada (sebelum pandemi) dan pengadanya pemerintah sehingga biasanya bisnis seperti ini yang mendapatkan adalah orang yang dekat dengan kekuasaan, sehingga tidak tertutup kemungkinan menjadi monopoli," ujarnya.

Baca Juga: Keuntungan dari Uang Tes PCR Covid-19 Ternyata Besar dan 'Gila-Gilaan' Bahkan Sampai Bisa Buat Beli Pesawat

Said Didu kemudian menyoroti mahalnya harga tes PCR yang sempat terjadi sebelum keluarnya regulasi dari pemerintah untuk mengendalikan harga.

Dia menyebut, tes PCR menjadi problem ketika pemerintah mewajibkannya sebagai syarat untuk melakukan aktivitas di luar rumah (dalam hal ini terkait pekerjaan) namun di sisi lain ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan hal tersebut sebagai momentum untuk meraup keuntungan fantastis.

"PCR itu kemarin menjadi masalah karena selama itu tidak diregulasi, tidak menggunakan aturan pemerintah untuk 'memaksa' rakyat untuk melakukan itu, itu tidak masalah karena terjadi persaingan bebas. Yang menjadi problem adalah munculnya aturan diwajibkannya rakyat untuk melakukan PCR, jangan sampai peraturan yang mewajibkan rakyat untuk mengikuti sesuatu itu dipakai pebisnis untuk mengunci dimana-mana sehingga mendapatkan keuntungan," katanya.

Baca Juga: Kemenkes Tetapkan Harga Tes PCR Jadi Rp495 Ribu di Daerah Jawa Bali

Meski sudah ada aturan mengenai harga PCR, Said Didu menyoroti bahwa penetapan harga tersebut disinyalir masih terdapat campur tangan dari pihak importir.

Said Didu juga mempertanyakan kemampuan BPK dan BPKP terkait penetapan harga PCR di luar negeri, mengingat banyak masyarakat Indonesia yang menganggap harga tes PCR masih tergolong begitu mahal.

"Problemnya di sini adalah, biasanya di tingkat PBPK itu memakai usulan asosiasi. Kita tahu ini belum ada asosiasinya, berarti adalah pemilik-pemilik hak impor yang mengajukan harga ke pemerintah dan pemerintah memberikan kepada BPK-BPKP, kemudian BPK dan BPKP menetapkan harga. Apakah BPK dan BPKP tahu bahwa harganya sedemikian di luar negeri?," ujar dia.

Baca Juga: Iwan Fals Minta Biaya Tes PCR Covid-19 Jadi Gratis, Ernest Prakasa: Harus Diancam Dulu Baru Dilakukan

Said Didu mengatakan bahwa kewajiban tes PCR dari pemerintah untuk masyarakat yang memiliki tingkat mobilitas tinggi khususnya untuk urusan pekerjaan membuat bisnis PCR mampu menghasilkan potensi keuntungan fantastis hingga puluhan triliun rupiah.

Bahkan, Said Didu mengatakan bahwa keuntungan dari bisnis PCR dapat digunakan pemiliknya untuk membeli sebuah pesawat pribadi.

"Kalau pemerintah ini mewajibkan PCR, maka bisnis ini bisa mencapai Rp30-50 triliun. Coba bayangkan uang Rp1,5 juta (dari satu keluarga) diambil dikali 50, semakin rakyat bergerak bisnis ini semakin membesar dan semakin memberikan keuntungan kepada seseorang. Jadi jangan heran kalau ada informasi bahwa pemilik PCR pertama gara-gara untungnya sudah bisa membeli pesawat pribadi," tuturnya.***

Editor: Rizqi Arie Harnoko

Sumber: YouTube Karni Ilyas Club


Tags

Terkini