Lebih lanjut, Rocky Gerung juga mengungkapkan fakta bahwa kekuasaan justru kerap menyalahgunakan diksi kebangsaan sebagai alat untuk menyerang lawan politiknya.
"Jadi kebangsaan dipakai secara sepihak 'Hanya kami yang kebangsaan, hanya kami yang Pancasila', begini jadinya kan?," katanya.
Filsuf kelahiran Manado itu berpendapat, sikap kekuasaan tersebut telah menciptakan kebisingan di media sosial.
Sebagaimana kasus Edy Mulyadi, dia mengatakan bahwa kecelakaan diksi yang dilontarkan oleh Menag Yaqut juga telah menciptakan kebisingan di media sosial karena narasi tersebut menjadi isu yang viral.
"Akhirnya yang bising adalah media sosial, karena masing-masing pihak pakai posisi final tuh. Dan kita tahu bahwa sama seperti kasus Edy Mulyadi, ada kecelakaan narasi lalu dieksploitir. Demikian juga soal Menteri Agama," ujar dia.
Rocky Gerung juga menyoroti sikap lembaga survei yang seolah tidak peka terhadap isu-isu sensitif sebagaimana yang dipicu oleh pernyataan Menag Yaqut.
Dia juga menyebut bahwa klaim sejumlah lembaga survei yang menyebut tingkat kepuasan masyarakat terhadap rezim Presiden Jokowi mampu mencapai angka 73 persen sebagai 'kedunguan' yang dipertontonkan di tengah terbelahnya elemen bangsa.
"Jadi, hal-hal seperti ini yang luput dari lembaga survei. Lembaga survei bilang 'Ada kepuasan 73 persen', iya dalam keadaan bangsa terbelah. Buktinya itu kan? Jadi dungunya di situ," tuturnya.***