Pahami, 8 Topeng Kehidupan yang Sering Digunakan oleh Manusia, Ternyata Mengejutkan!

- 28 April 2021, 20:37 WIB
Ilustrasi Wajah Bertopeng/Madeinitaly/Pixabay.com
Ilustrasi Wajah Bertopeng/Madeinitaly/Pixabay.com //Achmad fauzi/

KABAR BESUKI -  Memahami diri sendiri tentunya sangatlah baik. Namun masih banyak manusia yang memilih untuk enggan memahami dirinya sendiri, bahkan ada yang malah tidak peduli. Saat berinteraksi dengan sesamanya, manusia dikatakan cenderung bangga dengan ‘’topeng’’ yang dikenakannya. Hal ini dialami terutama insan yang tiada beriman.

Ia cenderung membanggakan karuniaNya seolah ia hidup selamanya. Sebagian insan menjadi kecanduan, karena topeng-topeng kehidupan serupa ‘’candu’’ yang melenakan.

Konsep ikhlas masih belum bisa banyak orang lakukan. Bila berdonasi, ia bersedia karena ada liputan dan demi mencari sensasi. Bila ada sosialisasi, atau kerja bakti, maka ia lakukan demi reputasi dan gengsi.

Baca Juga: Bicara Aturan Royalti Musik Upaya Mensejahterakan Musisi, Freddy Harris Katakan Hal Ini

Sebagian orang rajin bersilaturahmi dengan pemegang kekuasaan dan pembuat kebijakan demi menikmati roti pembangunan. Zaman-peradaban semakin maju dan beradab, namun kenyataannya, sebagian manusia semakin biadab. Itulah topeng-topeng kehidupan alias ‘’The Masks of Life’’.

Manusia cenderung mengenakan “topeng” yang berbeda bila ia bertemu sesamanya. Bila ia bertemu pejabat, maka ia memakai “topeng” yang berbeda bila ia menyapa rakyat jelata.

Saat bertemu orangtua, seseorang memakai “topeng” berbeda ketika bercanda dengan sahabat lama. Bila bersua sang Guru, maka seseorang cenderung mengenakan “topeng” yang berbeda pula ketika berinteraksi dengan muridnya.

Baca Juga: Juliari Batubara Mendapat Dukungan dari Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetyo Edi: Pak Juliari Batubara Teman Saya

Padahal topeng kehidupan itu semu. Memakainya membuat hati menangis pilu serta jiwa terisak sendu. Namun, saat manusia bertemu Tuhan, maka ia tak mungkin mengenakan “topeng” kehidupan. Tuhan Maha Mengetahui isi hati dan perilaku insan.

Topeng-topeng kehidupan berjuta macamnya. Sebagian di antaranya adalah kekayaan, kepandaian, keturunan, pasangan hidup, karya, relasi-reputasi, teknologi-informasi, Cintakasih. Diperlukan kebijaksanaan sekaligus kearifan agar para pemakainya tidak dilaknat Tuhan, karena cenderung meninabobokan sekaligus menumpulkan akal, hati, jiwa, emosi manusia karena memang memiliki dua sisi berlawanan.

Maksudnya, di satu sisi, topeng-topeng kehidupan merupakan problematika kehidupan, namun di waktu lain dapat menjelma solusi yang amat diharapkan. Singkatnya, topeng-topeng kehidupan membawa masalah sekaligus pemecahannya.

Baca Juga: Breaking News! Dugong Terdampar di Sabu Raijua, Diduga Sakit dan Tertinggal dari Kawanannya

Berikut ini penjelasan singkat tentang topeng-topeng kehidupan dilansir dari situs Antara.

Pertama, kekayaan. Kekayaan harta itu perlu, namun kekayaan jiwa dan hati itu lebih utama. Kekayaan duniawi memang berpotensi mematikan hati, terutama bila diperoleh bukan dari jalan Ilahi. Hati menjadi keruh dan tak lagi peduli. Perilaku menjadi semakin tak terkendali.

Kekayaan materi hanyalah kekayaan ilusi. Dengannya, manusia menjadi semakin jauh dari Ilahi. Kekayaan semacam ini bila semakin berlimpah, maka menjadi semakin tidak berkah.

Nantinya kekayaan ini akan ditanya darimana bersumberkan dan bilamana dipergunakan. Memang sungguh berat pertanggungjawaban atas kekayaan demikian.

Baca Juga: Tes Kepribadian: Pilih Gambar dan Ungkap Gimana Anda Sebenarnya, Pantas Jadi Pemimpin hingga Kesetiaan

Kekayaan sejati adalah kekayaan hati. Hati yang penuh ketulusan dan cinta kasih menuntun manusia menemukan Ilahi. Kekayaan hakiki adalah kekayaan nurani. Dengannya, manusia dapat merasakan kedamaian dalam taman-taman kebahagiaan nan abadi.

Kedua, kepandaian. Kepandaian merupakan amanah Allah yang dititipkan kepada manusia untuk memakmurkan dunia. Kepandaian bukan banyaknya pengetahuan yang dimiliki, melainkan banyaknya kontribusi bagi negeri.

Kepandaian sejati berarti sejauh mana manusia memiliki bekal sebanyak-banyaknya untuk menghadap Ilahi. Kepandaian hakiki, bermula dari kitab suci, bersumberkan referensi kehidupan, risetnya berupa observasi kepada kebenaran dan kesejatian, evaluasinya berupa problematika kehidupan dan kenikmatan duniawi, prosesnya berupa dinamika yang seringkali dilematis.

Betapa banyak cendekiawan yang lulus saat diberi ujian penderitaan, namun gagal saat sedang mengarungi lautan kenikmatan.

Baca Juga: Sering Sakit Tenggorokan Saat Puasa? Ini 6 Cara Ampuh Mengatasinya

Ketiga, keturunan. Seringkali seseorang minder akibat kedua orang tuanya bukan orang berpunya, tidak memiliki jabatan, atau bukan tokoh masyarakat.

Ada juga yang merasa tidak lagi berarti karena tidak memiliki keturunan. Bahkan ada orang yang rumah tangganya berantakan hanya karena pasangannya tidak memberinya keturunan.

Begitu pula sebaliknya. Ada sementara insan yang terlalu membanggakan dirinya itu keturunan raja, pejabat, atau konglomerat, padahal ia belum memberikan kontribusi berarti bagi umat.

Ada juga yang berbangga diri karena berhasil menyekolahkan anaknya hingga ke luar negeri, anak-anaknya berhasil meraih berjuta prestasi, atau seringkali memenangkan berbagai kompetisi. Keturunan berupa anak itu hakikatnya hanyalah amanah dari Allah. Bukan untuk dibanggakan, dipamerkan, diceritakan, melainkan untuk diasuh, dididik, dan disyukuri. Keturunan sejati membuat manusia senantiasa mensyukuri karunia Ilahi.

Baca Juga: Tiba di Polda Metro dengan Mata Tertutup, Polisi Ungkap Munarman Jadi Tersangka Dugaan Terorisme

Keempat, pasangan hidup. Generasi digital-milenial saat ini seringkali galau kalau ditanya tentang pasangan hidup. Kapan menikah? Pertanyaan ini mendadak terasa sebagai kiamat nan mahadahsyat. Belum memiliki pasangan menjadi tragedi terbesar bagi kaum jomblowan dan jomblowati di seluruh dunia.

Jawaban teraman adalah sedang berupaya memantaskan diri. Padahal sebenarnya memang belum ditakdirkan bertemu jodoh yang sesuai. Bagi yang memang dapat berkarya dan sibuk berorganisasi, maka dapat menjadi jojoba, alias jomblo-jomblo bahagia.

Boleh jadi mereka ini tergolong jomblo high-quality

Bagi yang telah berpasangan, berpotensi menjadi lupa diri. Seolah pasangannya raja, dewa, bidadari, atau permaisuri yang tidak pernah mati, sehingga melupakan Ilahi. Akhirnya kita cenderung tunduk atau takluk kepada pasangan, hanya demi membahagiakannya. Padahal bukan demikian.

Baca Juga: Kata Ahli: Demensia Terjadi pada Usia 50 Tahun Keatas, Aktivitas Berikut Ini Mampu Mengurangi Risikonya

Sejatinya, pasangan hidup ibarat pakaian, saling menutupi

Ketika berumah tangga, sebaiknya suami-istri saling mengisi, saling memahami, saling pengertian. Dinamika kehidupan dirasakan bersama. Bila dijalani bersama, duka menjelma bahagia.

Pasangan sejati yang senantiasa meniti jalan kebenaran nan suci, bersama-sama memakmurkan bumi sesuai perintah ilahi, selalu berpedoman pada kitab suci, senang berbagi tanpa pamrih reputasi, menjadikan dunia tidak menguasai hati, maka pernikahannya akan lestari dan selalu diberkahi.

Kelima, karya. Manusia berkarya sesuai hobi, bakat, minat, passion, atau kemampuannya. Bagi penulis, maka buku merupakan masterpice baginya. Bagi penggemar kuliner, memasak menjadi andalannya. Bagi musikus, maka simfoni lagu adalah kebanggaannya. Bagi penyuka matematika atau fisika, dapat menciptakan formula atau rumus baru tentu merupakan karyanya. Bagi pebisnis, maka mendirikan perusahaan merupakan kesuksesannya. Bagi peneliti atau ilmuwan, maka publikasi adalah prestasinya.

Baca Juga: Biar Lancar PDKT! Ahli Membeberkan 3 Cara Chat Ini Bikin Gebetan Cepat Membalas

Beragam karya umat manusia tetap tercatat oleh sejarah. Karya mereka menjadi sumber inspirasi bagi generasi berikutnya. Karya tersebut menjadi ilusi bila bertujuan duniawi. Karya itu menjadi hakiki, bila bertujuan ‘’menemukan’’ jatidiri dan menggapai rida Ilahi.

Keenam, relasi-reputasi. Seseorang dengan relasi luas, hidupnya relatif mudah dan berkelas. Semua hal dengan mudah dapat diatasi atas nama persahabatan.

Memiliki teman dokter, berarti terjamin kesehatannya. Memiliki sahabat insinyur, maka kenyamanan tinggal mudah diatur. Memiliki relasi pejabat tinggi, maka otomatis jalur birokrasi mudah teratasi. Memiliki kenalan pengusaha, maka imperium bisnis tercipta dengan cara sederhana.
Relasi bersahabat karib dengan reputasi. Keduanya resiprokal dan bersinergi. Manusia dengan relasi banyak, reputasinya cenderung cepat menanjak.

Halaman:

Editor: Ayu Nida LF

Sumber: ANTARA


Tags

Terkini

x